visitaaponce.com

Transisi Energi Terhambat Harga Gas, PLN Kesulitan

Transisi Energi Terhambat Harga Gas, PLN Kesulitan
PLTGU Riau.(Dokpri.)

PROGRAM konversi energi terbarukan dinilai sulit direalisasikan apabila energi yang relatif lebih bersih seperti gas alam cair (LNG) harganya masih relatif tinggi, terutama untuk energi listrik. Hal tersebut juga yang menjadi kesulitan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di unit pembangkit listrik tenaga gasnya yang saat ini memperoleh rata-rata gas di atas US$10 mmbtu.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, mengungkapkan dengan melimpahnya gas alam di Indonesia, seharusnya transisi energi bisa dipercepat. Apalagi Indonesia berkomitmen untuk net zero emission pada 2060. Namun, saat ini ujar dia, pembangkit tenaga diesel yang menggunakan solar masih banyak, yakni berjumlah 5.200 yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Jika dengan harga gas di atas US$10 (per mmbtu) itu rasanya sulit untuk membangun fasilitas penunjang untuk menggantikan solar jadi gas. Investasinya terlalu besar, tetapi akan menjadi menarik jika harga acuannya ialah harga diesel yang targetnya mengurangi ketergantungan kita terhadap listrik tenaga diesel yang bahan bakarnya solar. Apalagi di lapangan banyak sekali penyelewengan, pencurian solar itu sangat riskan," ujar Daymas saat dihubungi, Minggu (8/10/2023).

Baca juga: Data Ketenagakerjaan AS Semakin Kuat, Berpotensi Pada Kenaikan Fed Rate
 

Dia mengungkapkan, program dedieselisasi, baik menggunakan gas alam cair, geothermal, maupun energi bersih lain, bisa mengefisiensikan juga kehilangan anggaran PLN dari diesel dan batu bara. "Idealnya harganya di atas US$6 dan di bawah US$10 sudah cukup menarik sebenarnya. Sudah win win. Bicara LNG, bukan gas seperti PLTG yang hanya menggunakan jalur pipa gas tetapi ini gas yang sudah diproses sedemikian rupa sehingga memiliki faktor dimensi yang jauh kecil dari CNG (gas terkompresi) atau kebutuhan jalur kebutuhan pipa jalur biasa. Jadi ini merupakan efisiensi yang lain, efisiensi logistik, dan juga efisiensi pembangunan infrastruktur," jelas Daymas.

Seharusnya, kata dia, harga gas Indonesia mengacu pada harga pasar dunia supaya konversi energi bisa direalisasikan lebih cepat dan lebih efisien. "Ini juga menjadi langkah pemerintah dalam menentukan harga gas untuk program-program penggantian konversi ke sustainability energi. Apalagi kita tahu, kita mau mentransisikan dari fosil ke dibutuhkan energi transisi dan gas ini bisa diandalkan, jauh lebih bersih dan realibitinya dibanding yang lain," tutur Daymas. Program gasifikasi bertujuan mengganti penggunaan bahan bakar solar dengan gas bumi/LNG agar biaya pembangkitan PLN menjadi lebih murah sekaligus mendukung transisi energi.

Baca juga: WTO: Inflasi, Suku Bunga, Perang Hambat Perdagangan Global

 

Sementara itu, Corporate Secretary PLN Energi Primer Indonesia Mamit Setiawan mengungkapkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh pemerintah dan sangat membantu PLN dalam menurunkan biaya pembangkitan listrik. "Program gasifikasi dilaksanakan sepanjang harga kontraktual gas/LNG dan biaya infrastruktur lebih rendah daripada harga solar dan biaya logistik. Karenanya, apabila PLN mendapatkan HGBT akan semakin meningkatkan nilai tambah program gasifikasi sekaligus menurunkan biaya pembangkitan PLN," ujar Mamit saat dihubungi, Minggu (8/10/2023).

Dihubungi terpisah, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan penyebab harga gas mahal di unit PLTG lantaran ada praktik oligopoli di sektor tersebut. Saat ini, penyedia jasa untuk infrastruktur distribusi LNG sendiri dikuasai oleh perusahaan pelat merah yaitu Pelindo III, sedangkan produsennya Perusahaan Gas Negara (PGN). "Nah biaya toll fee berapa margin yang diterima PGN enggak diatur. Misalnya juga Pelindo misalnya tidak diatur sama sekali, tergantung Pelindo. Mereka merasa toh yang lain butuh, konsumen butuh untuk mendistribusikan gas tadi. Ada semacam oligopoli sehingga dia bisa menetapkan harga seenaknya," tutur Fahmy, Jumat (6/10/2023).

Menurut dia, akan berbeda jika pemain di ranah distributor banyak, karena mereka bisa bersaing membentuk harga. "Namun Pelindo pemain yang cukup besar satu-satunya sehingga bisa seenaknya menetapkan biaya tadi. Hampir tidak (swasta) yang main. Kalau di hulu agak lumayan banyak, asing juga banyak. Tapi kalau di yang mendistribusikan dari sumber gas ke konsumen akhir itu lebih banyak pemainnya BUMN dan tidak banyak pemainnya. Itu semacam oligopoli sehingga bisa bebas menetapkan berapapun biayanya," ungkap Fahmy.

Hal tersebut, ujar dia, sangat merugikan PLN. Soalnya, konsekuensi perusahaan pelat merah itu harus membeli harga gas mahal, sehingga biaya pokok produksi listri terus membengkak. "Harga keekonomiannya jadi mahal. Tapi PLN kan enggak bisa seenaknya menetapkan harga atau tarif listrik karena itu domain pemerintah. Jadi, yang ditanggung besar. Ini bisa membuat PLN rugi dalam penggunaan gas untuk listrik tadi. Mungkin dia masih untung dalam listrik yang berasal dari batu bara tetapi di gas energi bersih jadi mahal. Ini saya kira dilema bagi PLN," tutur Fahmy. (RO/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat