visitaaponce.com

Ancaman EUDR, CPOPC Upayakan Usaha Petani Kecil tak Terdegradasi

Ancaman EUDR, CPOPC Upayakan Usaha Petani Kecil tak Terdegradasi
Ilustrasi petani kelapa sawit(Antara)

NEGARA yang bergabung dalam dewan negara produsen minyak sawit, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menegaskan akan memperjuangkan usaha petani kecil sawit agar tidak terdegradasi atas tindakan diskriminasi dari Uni Eropa (UE) terhadap kelapa sawit melalui EU Deforestation-Free Regulation (EUDR).

Sekretaris Jenderal CPOPC Rizal Affandi Lukman menuturkan pihaknya mendorong implementasi sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) secara nasional dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk global. Hal ini guna keberlanjutan pengelolaan kelapa sawit, baik untuk industri maupun ke petani kecil.

EUDR memuat pelarangan masuknya tujuh produk komoditas yang dinilai menyebabkan deforestasi. Akibat aturan itu, mulai 2025 nanti, sejumlah komoditas di Indonesia yang akan terdampak dari EUDR, antara lain minyak sawit, karet, kakao, kayu dan kopi, diwajibkan ikut uji tuntas (due diligence) terkait ketertelusuran (traceability) komoditas.

Baca juga : Uni Eropa Minta Sawit yang Diekspor Tak Terkait Deforestasi

"Kita tidak usah terlalu khawatir EUDR menjadikan dunia runtuh, terutama untuk industri dan petani sawit. Kita masih ada satu tahun sebelum 2025, nah kita dorong pemberian ISPO lewat pemerintah dan penguatan RSPO," ujar Rizal dalam diskusi media di Jakarta, Kamis (14/12).

Ketentuan EUDR dianggap berpotensi menyulitkan para petani kecil karena penerapan geolokasi plot lahan kelapa sawit dan sistem pengukuran atau benchmarking system yang membagi negara dalam 3 kategori yakni high risk, standard dan low risk. Namun, sampai saat ini, Rizal mengatakan UE belum memberikan keterangan detail perihal itu.

Baca juga:

Baca juga : Indonesia Resmi Gugat Uni Eropa ke WTO Terkait Sawit

"Dengan adanya geolokasi itu maka akan ada implikasi bagi petani mengolah sawit yang agak jauh. Ini kan berdampak pada cost. Kita nanti minta penjelasan detail dari UE supaya ke depan tidak menyulitkan para petani kita," ucapnya.

Pada awalnya, kelompok ini beranggotakan dua produsen utama minyak sawit dunia yaitu Indonesia dan Malaysia. Lalu, bertambah dari Honduras dan berencana mengajak Papua Nugini.

Indonesia, lanjut Rizal, juga akan mengembangkan integrasi sistem data komoditas atau dikenal clearing house system untuk memudahkan negara konsumen menelusuri semua rantai produksi sawit. Sistem ini bersumber dari Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN), Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan sistem ISPO. Dari Malaysia menerapkan Sertifikat Rantai Pasokan (MSPO) guna mendapatkan pengakuan global.

Baca juga : Pemerintah Berkukuh Hilangkan Diskriminasi Kelapa Sawit

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Keberlanjutan dan Petani Kecil CPOPC, Witjaksana Darmosarkoro menyampaikan pihaknya berupaya melakukan langkah-langkah advokasi dan promosi agar petani kecil tidak tersingkir dari rantai pasok ekspor sawit ke Eropa.

"Kita terus melakukan kampanye untuk memberikan jalan agar mereka mendapatkan sertifikasi. Ini supaya produk mereka diterima di pasar. Tentu ini ada kerja sama dengan multi stakeholder," terangnya. (Ins/Z-7)

Baca juga : Kementan Perjuangkan Akses Pasar Sawit Berkelanjutan di Uni Eropa

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat