visitaaponce.com

Norma Hukum masih Kesulitan Proses Kekerasan Berbasis Gender Online

Norma Hukum masih Kesulitan Proses Kekerasan Berbasis Gender Online
KBGO: kasus kekerasan berbasis gender online mengalami kenaikan pesat, yakni dari 281 kasus pada 2019 menjadi 942 kasus pada 2020.(MI/ Ilustrasi)

HASIL Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, prevalensi  Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) tertinggi di Indonesia baik selama hidup maupun setahun terakhir berada pada kelompok umur 15-19 tahun, sebanyak 0,23 persen.

Selain itu, berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021, kasus kekerasan berbasis gender online mengalami kenaikan pesat, yakni dari 281 kasus pada 2019 menjadi 942 kasus pada 2020. Meskipun banyak data yang menujukan mengenai KBGO, beberapa kasus kekerasan berbasis gender online sulit diproses secara hukum dan terkendala dengan pembuktian.

Hal ini disampaikan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Valentina Ginting. Valen memaparkan hasil laporan dari catatan Komnas Perempuan, LBH APIK, dan SAFEnet hal yang menjadi kendala dalam pelaporan kasus adalah berkenaan dengan barang bukti.

“Dari sisi Aparat Penegak Hukum (APH), penindakan terkendala karena barang bukti dianggap tidak lengkap ataupun tidak dapat memenuhi prosedur yang diharapkan,” kata Valen dalam kegiatan Sosialisasi Pengembangan Kapasitas UPTD dan Pengada Layanan di Provinsi D.I Yogyakarta terkait Barang Bukti Dokumen Elektronik/Informasi Elektronik Untuk Penanganan KBGO.

Di sisi lain, UPTD dan Organisasi Pengada Layanan kerap mengalami kesulitan dalam mendampingi korban dan membantu proses pelaporan ke kepolisian. Valen juga mengungkapkan kendala pemahaman yang kurang memadai tentang bentuk-bentuk KBGO, pengumpulan barang bukti elektronik dan dimensi teknologi digital yang digunakan juga dianggap masih jadi hambatan dalam penanganan kasus KBGO.

“Untuk menjawab tantangan yang dihadapi pemangku kepentingan yang bersinggungan dengan kasus dan menangani korban secara langsung, pengembangan kapasitas UPTD dan Pengada Layanan yang dilaksanakan menjadi sangat penting. Saya berharap kemampuan dan kapasitas dari para tenaga layanan, khususnya di Provinsi D.I Yogyakarta terkait barang bukti elektronik akan semakin meningkat sehingga kita dapat semakin mengoptimalkan dan mewujudkan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan terutama kekerasan berbasis gender online,” ujar Valen.

Valen menambahkan beberapa regulasi juga telah dikeluarkan sebagai rujukan dalam memberikan perlindungan dari kekerasan berbasis gender online, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hal itu diharapkan dapat menjadi penopang dan landasan hukum bagi para APH dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender online.

Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet Indonesia, Ellen Kusuma menerangkan beberapa poin penting yang harus dilakukan dalam pendampingan kasus KBGO, antara lain mengutamakan kerahasiaan identitas korban dan pengambilan keputusan/tindakan berdasarkan konsen dari korban. Selain itu, keselamatan bagi korban dan pendamping juga menjadi prioritas utama.

Ellen menjelaskan upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam menghadapi kasus KBGO diantaranya; (1) menyimpan barang bukti; (2) melakukan pemetaan risiko; (3) buat daftar prioritas kebutuhan dan keamanan; (4) susun kronologi; (5) laporkan ke platform digital terkait; (6) pertimbangkan upaya lapor polisi; dan (7) cari bantuan.

Adapun beberapa jenis KBGO yang paling banyak tercatatkan menurut CATAHU Komnas Perempuan 2021, antara lain; (1) ancaman penyebaran video porno; (2) revenge porn; (3) diminta mengirimkan foto/video berkonten porno; (4) penyebaran foto/video porno. (H-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat