visitaaponce.com

Pemohon Legalisasi Ganja untuk Medis Minta Solusi Konkrit

Pemohon Legalisasi Ganja untuk Medis Minta Solusi Konkrit
Orang Tua dari Anak yang mengidap cerebral palsy Santi Warastuti (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (306/2022).(ANTARA)

KELUARGA dari anak-anak yang membutuhkan produk turunan dari ganja minyak cannabis (CBD oil) untuk medis, membutuhkan solusi konkrit dan tindak lanjut pemerintah atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam pengujian Undang-Undang No.35/2009 tentang Narkotika meminta pemerintah membuat penelitian dan pengkajian soal ganja untuk medis. Orang tua dari anak-anak yang menderita Celebral Palsy memohonkan hal itu ke MK.

Pemohon yakni Santi Warastuti, ibu dari Pika Sasikirana, 12, yang menderita epilepsi mengatakan tetap akan berjuang untuk mengawal putusan itu untuk ditindaklanjuti, meskipun MK menolak permohonannya.

Baca juga: Kemendagri Minta Pengelola Informasi Publik Jamin Hak Warga

"Bukan hanya riset saja yang kita harapkan, tapi juga solusi sambil menunggu hasil riset," ujarnya pada media, Rabu (20/7).

Saat ini, sambung Santi, Pika mengonsumsi obat- obatan medis untuk mengatasi kejang. Namun, ia mengungkapkan terapi tersebut hasilnya kurang efektif jika dibandingkan dengan CBD oil.

"Pika sudah mengonsumsi obat kejang yang tersedia di Indonesia. Ditambah terapi medis obat konvensional, terapi akupuntur, dan suplemen. Sambil menunggu yang saya perjuangkan, saya tidak akan berhenti," ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Dewi Pertiwi, ibu dari almarhum Musa, anak berusia 16 tahun yang pernah menderita Celebral Palsy atau lumpuh otak ingin agar pemerintah memperhatikan anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang mempunyai masalah kejang dan membutuhkan ganja medis.

"Obat yang ada tidak membantu. Kita sudah hidup bersama dengan anak kebutuhan seperti Musa dan Pika. Ketika Musa menggunakan ganja membantu banget. Ketika tidak bisa digunakan, apa dong solusinya untuk membuat anak-anak ini nyaman," ucap Dewi.

Pemohon lain yakni Nafiah Muharyanti, ibu dari anak perempuan bernama Masayu Keynan,10, yang menderita epilepsi dan Celebral Palsy mengaku kecewa dengan putusan tersebut.

"Sudah terbaca hasilnya, kalau mau kecewa ya kecewa. Kalau untuk selanjutnya perlu dipikirkan apa sih yang bisa dilakukan untuk anak-anak ini. Solusinya kalau ganjanya belum bisa dipakai," tutur Nafiah.

Kuasa Hukum Pemohon Erasmus Napitupulu mengatakan saat ini tengah dilakukan revisi UU Narkotika, pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, sehingga penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika.

"Dengan revisi ini, maka Pemerintah maupun Swasta sesuai dengan amanat MK akan memiliki peluang yang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kesehatan," ujar Erasmus.

Selain itu menurutnya Indonesia dapat merujuk penelitian-penelitian lain yang sudah dilakukan di luar negeri maupun Persatuan Bangsa-Bangsa seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD). Itu, ujarnya, bisa menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).

"Pemerintah harus memberi solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak di-cover Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi," tukasnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022 yang menolak permohonan uji materil pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan. Namun dalam pertimbangannya, MK memerintahkan Pemerintah untuk segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan.

MK menekankan bahwa hasil dari pengkajian dan penelitian ilmiah tersebut harus dijadikan sebagai bahan oleh pembuat kebijakan untuk mengubah peraturan terkait pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.

Para pemohon meminta Mahkamah mencabut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan. Para Pemohon berargumen bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesehatan dan Pasal 28C ayat (1) tentang hak untuk memperoleh manfaat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat