visitaaponce.com

Kemendikbud Ristek Penganugerahan Profesor Kehormatan agar Tacit Knowledge Bisa Diajarkan dan Dikaji di Kampus

Kemendikbud Ristek: Penganugerahan Profesor Kehormatan agar Tacit Knowledge Bisa Diajarkan dan Dikaji di Kampus
Ilustrasi: penganugerahan gelar profesor kehormatan(MI/Haryanto Mega)

PENGANUGERAHAN guru besar (sementara) kepada praktisi merupakan praktek umum di dunia. Ada beberapa istilah untuk anugerah profesor kehormatan antara lain dengan nama adjunct professor, ada professor of practice, ada honorary professor, dan sebagainya.

"Pada dasarnya pemberian anugerah profesor kehormatan adalah agar ilmu yang berkembang di dunia profesi/dunia kerja/kehidupan di luar kampus berdasar praktek lapangan, atau yang dikenal sebagai tacit knowledge bisa menjadi diajarkan dan menjadi kajian di dalam kampus. Tacit knowledge yang dimiliki oleh para praktisi, baik di dunia profesional, sosial, maupun politik sangat kaya dan unik," ucap Pelaksana tugas Direktur Jenderal (Plt. Dirjen) Dikti Ristek, Nizam saat dihubungi pada Sabtu (17/6).

Ia menegaskan bahwa tacit knowledge tersebut bisa hilang apabila tidak dibawa ke perguruan tinggi dan dikaji serta dikembangkan menjadi eksplisit knowledge.

Baca juga: Para Guru Besar Minta Penganugerahan Profesor Kehormatan Disetop

"Kampus sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan harusnya terbuka untuk para praktisi yang langka tersebut untuk masuk dan membawa tacit knowledge untuk diajarkan, didiskursuskan dan dikaji di dalam kampus," jelasnya.

Dengan demikian, menurut Nizam ilmu yang berkembang di dalam kampus akan lebih kaya dan relevan.

Baca juga: Forum Rektor Indonesia Tolak Pemberian Profesor Kehormatan bagi Pejabat Publik

"Agar para pakar praktisi tersebut bisa membawa tacit knowledge nya ke kampus, maka diberilah jabatan kehormatan sebagai guru besar (sementara/kehormatan) agar dapat membimbing mahasiswa doktoral untuk menularkan ilmu pengalamannya dan dikaji menjadi kajian ilmiah," tegas Nizam

Penganugerahan, atau lebih tepatnya sebetulnya penugasan, seorang pakar menjadi profesor sementara atau profesor kehormatan tersebut merupakan bagian dari otonomi perguruan tinggi. Nizam mengatakan bahwa hak tersebut sepenuhnya ada di perguruan tinggi, sedangkan Kemendikbud Ristek hanya memberikan rambu-rambunya saja.

"Pada jabatan tersebut melekat kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang guru besar untuk menjalankan tridharma, tapi tidak mendapat tunjangan kehormatan guru besar seperti profesor akademik. Karena penyandang jabatan tersebut fungsional utamanya bukan akademisi. Jadi berbeda dengan profesor tetap sebagai jabatan fungsional tertinggi seorang dosen," tandasnya. (Fal/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat