visitaaponce.com

Geopolitik Memanas, Tiongkok Perluas dan Modernisasi Persenjataan Nuklir

Geopolitik Memanas, Tiongkok Perluas dan Modernisasi Persenjataan Nuklir
Rudal balistik antarbenua berkemampuan nuklir DF-41 China(AFP)

BEBERAPA negara, terutama Tiongkok semakin serius memperluas dan memodernisasi persenjataan nuklirnya. Situasi geopolitik yang memanas diduga menjadi alasan keputusan peningkatan persenjataan nuklir Tiongkok.

"Kita mendekati atau mungkin telah mencapai, akhir dari periode panjang dari jumlah senjata nuklir di seluruh dunia yang menurun,” kata Dan Smith, direktur Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (Sipri), kepada Agence France-Presse.

Jumlah total hulu ledak nuklir di antara sembilan kekuatan nuklir, yang dimiliki Inggris, Tiongkok, Prancis, India, Israel, Korea Utara, Pakistan, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) turun menjadi 12.512 pada awal tahun 2023, dari 12.710 pada awal tahun 2022.

Baca juga: aiwan Siagakan Sistem Rudal Darat Hadapi 10 Jet Tempur Tiongkok

Menurut Sipri, adapun 9.576 di antaranya berada di persediaan militer untuk potensi penggunaan, 86 lebih banyak dari tahun sebelumnya. Sipri membedakan antara persediaan hulu ledak nuklir yang tersedia untuk digunakan dan total inventaris negara.

"Persediaan hulu ledak nuklir adalah hulu ledak nuklir yang dapat digunakan, dan jumlahnya mulai meningkat," ungkap Smith, dia mencatat jumlah itu masih jauh dari lebih dari 70.000 hulu ledak nuklir yang terlihat pada tahun 1980-an.

Baca juga: Rusia Rencanakan Insiden Besar-besaran di Lokasi Nuklir Zaporizhzhia

Sebagian besar peningkatan berasal dari Tiongkok, yang meningkatkan stok hulu ledak dari 350 menjadi 410 hulu ledak.

Sedangkan India, Pakistan, dan Korea Utara juga meningkatkan stok hulu ledak mereka dan Rusia tumbuh pada tingkat yang lebih kecil, dari 4.477 menjadi 4.489.

Sementara negara-negara nuklir yang lain mempertahankan ukuran persenjataannya. Rusia dan Amerika Serikat bersama-sama masih memiliki hampir 90 persen dari seluruh persenjataan nuklir.

"Gambaran besarnya adalah bahwa kita telah mengalami penurunan jumlah hulu ledak nuklir selama lebih dari 30 tahun, dan kita melihat proses itu akan segera berakhir," ujar Smith.

Para peneliti di Sipri juga mencatat bahwa upaya diplomatik dalam pengendalian senjata nuklir dan perlucutan senjata telah mengalami kemunduran setelah invasi Rusia ke Ukraina. Misalnya, AS menangguhkan dialog stabilitas strategis bilateral dengan Rusia setelah invasi tersebut.

Pada Februari lalu, Moskow mengumumkan bahwa pihaknya menangguhkan partisipasi dalam Perjanjian 2010 tentang Langkah-Langkah untuk Pengurangan Lebih Lanjut dan Pembatasan Senjata Ofensif Strategis (New Start).

Sipri mencatat dalam sebuah pernyataan bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian pengendalian senjata nuklir terakhir yang tersisa yang membatasi kekuatan nuklir strategis Rusia dan AS.

Pada saat yang sama, Smith mengatakan bahwa peningkatan persediaan tidak dapat dijelaskan oleh perang di Ukraina karena dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengembangkan hulu ledak baru dan sebagian besar peningkatan itu terjadi di antara negara-negara yang tidak terpengaruh secara langsung.

(AFP/Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat