visitaaponce.com

Belanja Daring Telah Jadi Arus Utama Masyarakat

Belanja Daring Telah Jadi Arus Utama Masyarakat
Webinar IT Business Outlok mengulas peningkatan belanja daring di masyarakat(ISTIMEWA)

KECENDERUNGAN belanja daring masyarakat Indonesia saat ini terus meningkat di hampir semua  kategori. Warga sudah sangat biasa untuk berbelanja secara online, termasuk mereka yang tinggal di pedesaan.

Demikian dikatakan Nur Javad Islami/Jeff, Chief of Digital startup, Ecommerce & Fintech Sharing Vision dalam webinar "IT Business Outlok". Dalam acara yang sama juga menampilkan pembicara Budi Sulistyo, Senior Consultant IT Security dan Fran Suwarman, Senior Consultant IT Strategic & Governance.

Menurut Jeff, selama enam tahun terakhir pembelilan tiket pesawat konsisten menjadi transaksi paling banyak dilakukan secara online. Sementara pembelian laptop atau komputer menjadi transaksi paling sedikit karena harganya yang juga mahal.Benl

Baca juga : Pengiriman Logistik Pekan Pertama Ramadan Melonjak hingga 40%

Namun belanja skala grosir biasa dilakukan langsung karena pengguna ingin memilih barang secara langsung.

"e-Commerce secara keseluruhan di Indonesia benar-benar telah menjadi sesuatu yang mainstream. Hal ini didorong oleh alasan mayoritas responden karena banyaknya promo yang diberikan, selain tentunya lebih praktis dan mudah," katanya.

Data tersebut dihasilkan dari riset tahunan sejak 2020 hingga tahun ini dengan responden lebih dari 10.000 orang.

Baca juga : Ketua idEA Yakin Transaksi E-commerce Tahun Depan Melesat

Dari sisi pembayaran, transfer via virtual account dan e-Money/e-Wallet menjadi metode  pembayaran yang paling disukai pengguna. Lebih dari 90% responden memilih berbelanja daring di marketplace sekalipun jasa delivery online dan website toko daring juga memiliki signifikansi tinggi.

Shopee, Gojek, Tokopedia, dan Grab masih menjadi toko online favorit. Beberapa yang lain seperti Traveloka dan Tiket sangat kuat khusus dalam online travel. Daftar marketplace yang sering digunakan responden adalah Shopee, Gojek (GoFood, GoShop), Tokopedia, Grab (GrabFood, Grabmart), Tiktok, Lazada, Traveloka, Bukalapak, Blibli, dan seterusnya.

"Fenomena menarik lainnya yang kami dapatkan adalah lebih dari 30% responden berbelanja melalui media sosial lebih dari 2 kali dalam sebulan. Namun sayangnya, pengalaman tidak menyenangkan ketika belanja di medium ini, proporsinya sangat tinggi. Sebab penipuan lewat media sosial meningkat, jadi perlu ada pengetatan dari sisi regulasi maupun penegakan hukum," katanya.

Baca juga : Rayakan Harbolnas, Tokopedia Usung Kampanye Beli Lokal

Jeff menjelaskan, 13% responden menggunakan fintech lending atau meningkat dua kali lipat jika dibandingkan tren-tren tahun-tahun sebelumnya. Adapun rangking nama layanan yang responden gunakan adalah Kredivo, Akulaku, Koinworks, AdaKami, Danacepat, Modalku, Investree, Amartha, Akseleran, dan Flexi Cash by Jenius.

Mengapa masyarakat Indonesia lari ke layanan ini? Jawaban terbesarnya adalah selain proses cepat dan mudah, juga dikarenakan persyaratannya dinilai tidak rumit. Proses pengajuan sendiri rata-rata membutuhkan waktu kurang dari 1 jam sampai uang pinjaman cair!  

"Riset kami menemukan 23% responden menyatakan pernah menggunakan layanan PayLater dan  Shopee Paylater adalah yang paling banyak digunakan. Motivasi utamanya adalah karena lebih fleksibel saat ada kebutuhan yang mendesak," katanya.

Baca juga : Wuah! Jangan Lewatkan Berbagai Promo Bombastis Shopee di Puncak 12.12 Birthday Sale

Karena itu, sambung dia, masyarakat dan pemerintah perlu semakin awas melihat kecenderungan booming pinjaman online (pinjol) yang diindikasikan hasil survey tersebut maupun realitas yang memang sedang ramai diperbincangkan oleh publik.

Sementara itu, Budi Sulistyo mengatakan, dari sisi IT, dua problem masih mudah ditemukan adalah masalah ketersediaan layanan dan fungsi yang benar serta masalah transaksi gagal, setengah berhasil, atau gagal namun dianggap berhasil atau sebaliknya.

Selain itu, riset menunjukkan lebih dari 20% responden mengaku akun media sosial-nya pernah dibobol atau dicuri dengan 9% di antaranya data pribadinya digunakan orang lain untuk penipuan.

Kemudian, 4%-11% dari total responden pernah menjadi korban berbagai penipuan digital. Paling banyak mengalami yaitu sms/WA penipuan yang meminta mengirimkan kode OTP. Maka itu, sebagian besar responden mengalami kerugian waktu karena penipuan, sedangkan lebih dari 30% responden mengalami kerugian uang akibat penipuan digital.

Pemerintah dan para penyedia layanan maupun masyarakat pengguna layanan perlu strategi baru yang lebih efektif dalam mengurangi jumlah korban penerobosan keamanan informasi maupun penipuan siber.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sugeng

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat