visitaaponce.com

Pemda Didorong Beri Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

Pemda Didorong Beri Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Dialog tentang Perlindungan dan Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat di Kalsel yang diselenggarakan Walhi Kalsel di Banjarbaru, Kamis (26/12).(MI/Denny S)

PEMERINTAH daerah di Kalimantan Selatan didorong segera memberi pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) guna percepatan pembangunan danpemberdayaan masyarakat adat. Di Kalimantan, baru ada penetapan 10 hutan adat oleh pemerintah dengan luas hutan adat seluas 6.000 hektare.

Hal ini dikemukakan Kepala Seksi Hutan Adat Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Regional Kalimantan, Budi Mulyono, Kamis (26/12), dalam dialog tentang Perlindungan dan Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat di Kalimantan Selatan yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel di Banjarbaru.

"Penetapan hutan adat di Kalsel masih menemui kendala karena belum ada pengakuan MHA oleh pemerintah sebagai syarat penetapan Hutan Adat," tuturnya.

Saat ini, pemerintah telah menetapkan 50 buah kawasan hutan adat di Indonesia dengan luas wilayah 24.674 ha. Sementara di Kalimantan, ada 10 lokasi kawasan Hutan Adat yaitu 9 lokasi di Kalimantan Barat dan satu di Kalimantan Timur, dengan luas keseluruhan 6.000 ha. Sedangkan di Kalsel belum ada meski secara fakta di lapangan ada beberapa hutan adat yang diakui masyarakat adat (suku dayak).

Karena itu, pemerintah daerah didorong untuk segera memberi pengakuan terkait keberadaan Masyarakat Hukum Adat melalui perda atau surat keputusan (SK). Pengakuan MHA ini tidak hanya bertujuan untuk penetapan Hutan Adat tetapi jauh lebih luas berupa pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lewat program pemerintah.


Baca juga: UMSU Pecahkan Rekor Dunia Pembuatan Kacamata Gerhana Matahari


Nurhidayati, Direktur Nasional Walhi, menyebut, polemik pengakuan MHA dan tanah adat ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah dan wakil rakyat dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat. Perlu perubahan paradigma pemerintah dalam melihat kelompok masyarakat adat, padahal mereka sudah ada sejak lama tapi tidak mendapat pengakuan.

"Prosesnya lama, berbelit-belit seolah sengaja diperhambat. Seharusnya pemerintah konsisten karena masalah ini juga merupakan program strategis nasional pemerintah tidak hanya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang dipercepat," tegasnya.

Di Kalsel, keberadaan masyarakat adat juga kian terancam akibat ekspansi industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan kelapa sawit. Walhi Kalsel mencatat dari luas kawasan hutan 1,7 juta ha tersisa 6% hutan primer di bagian puncak meratus. Sedangkan 84% hutan skunder separuhnya sudah dikuasai perizinan tambang dan sawit.

"Yang perlu kita sadari bersama bahwa hak akan ruang ini juga merupakan hak asasi manusia. Karena itu perlu ada terobosan hukum dari pemerintah daerah dan wakil rakyat," tutur Yaya sembari menyinggung ketidakhadiran DPRD Kalsel dan Pemprov Kalsel dalam dialog ini sebagai sebuah bentuk ketidakseriusan menyelesaikan masalah ini.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan, konflik antara masyarakat adat dan korporasi sawit dan tambang masih marak di Kalsel. Sementara pemerintah seolah tutup mata dan rakyat dikalahkan. Walhi mengidentifikasi sedikitnya ada 14 wilayah adat yang tersebar kawasan pegunungan Meratus dan rawa gambut di Kalsel.

Kepala Balai Adat Dayak Pitap, Kabupaten Balangan, Aliudar, mengatakan, perjuangan pengakuan masyarakat dan hutan adat ini sudah disuarakan sejak 1999 silam, tetapi hingga kini tidak kunjung mendapat pengakuan dari pemerintah. (OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat