visitaaponce.com

ICJR Persetubuhan dengan Anak Adalah Perkosaan

ICJR : Persetubuhan dengan Anak Adalah Perkosaan
ICJR menegaskan bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape.(thinkstock)

INSTITUTE  for Criminal and Justice Reform (ICJR) menyayangkan pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa Anak berusia 15 tahun oleh 11 orang pelaku di Kabupaten Parigi Moutong atau Parimo, Sulawesi Tengah. ICJR menegaskan bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape.

Seperti diberitakan, Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho menyatakan kasus tersebut bukan perkosaan, melainkan persetubuhan. Pasalnya perbuatan itu bukan dengan paksaan melainkan dengan iming-iming, sehingga disebut persetubuhan.

"Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar," ujar Peneliti ICJR Maidina Rahmawati, Jumat (2/6).

Baca juga: Korban Asusila di Sulawesi Tengah Dimungkinkan Jalani Operasi Pengangkatan Rahim

ICJR mencatat pernyataan polisi yang tidak bisa membedakan antara perkosaan dan persetubuhan terhadap anak juga pernah dikemukakan  Kapolsek Kalideres. Ia menyatakan kekerasan seksual yang dialami NN, 17, dengan pelaku orang dewasa berusia 42 tahun bukan perkosaan, melainkan persetubuhan.

"Pernyataan polisi seperti ini sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia, dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif," papar Maidina.

Baca juga: Kementerian PPPA Sebut Kasus di Parigi Moutong Masuk Unsur Pemerkosaan

Ia mengatakan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual telah diperbarui dengan adanya UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No 23 tahun 2002 serta perubahannnya dalam UU No 35 tahun 2014 dan UU No 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Adanya aturan itu, sambung Maidina, persetubuhan anak bukan seperti yang dinarasikan polisi. Jika ada iming-iming membuat pidana menjadi turun menjadi persetubuhan. Sekalipun ada iming-iming, ujar Maidina, perbuatan itu tetap kekerasan seksual.

UU Perlindungan Anak, tegas dia, memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak tetap masuk ke dalam kategori kekerasan/ancaman kekerasan.

Hukumannya, imbuh Maidina, lebih berat dengan perkosaan. Jika dalam KUHP ancaman pidana maksimal 12 tahun, dalam UU Perlindungan Anak mencapai ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.

"Bahkan apabila dilakukan oleh orang tertentu misalnya pendidik, dalam kasus ini pelaku pertama diketahui sebagai guru, ancaman pidana nya dapat bertambah 1/3 (sepertiga)," tegas Maidina

ICJR menilai polisi wajib memahami diskursus perlindungan anak. Setiap bentuk persetubuhan terhadap anak dengan bentuk cara apapun, kekerasan, ancaman ataupun rayuan sebagai perkosaan yang mutlak. "Sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak," cetusnya.

Polisi juga menurutnya harus memahami perkembangan politik hukum. Dengan adanya Pasal 4 ayat (2) UU TPSK, persetubuhan terhadap Anak adalah kekerasan seksual, juga dalam Pasal 473 ayat (2) huruf b UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru telah mengambil politik hukum bahwa Persetubuhan terhadap Anak juga merupakan bentuk perkosaan.

Maidina menambahkan bahwa Pasal 22 UU TPKS menyebutkan Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap Korban dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi terhadap korban. Selain itu, termasuk pertanyaan soal pengalaman seksual yang menimbulkan trauma bagi korban.

Teguran

Terhadap narasi yang menyalahkan korban, ICJR mendesak pimpinan kepolisian mengambil sikap dengan memberikan teguran ataupun sanksi yang lebih berat pada Kapolda tersebut. Selain itu ICJR mendesak pendidikan gender harus masuk dan dipahami oleh polisi yang mayoritas laki-laki dan cenderung lekat dengan maskulinitas.

"Ini membuat aparat penegak hukum menyalahkan korban apalagi menggali riwayat seksual korban dilarang oleh UU, dan hanya memperburuk citra polisi," ucapnya.

ICJR menilai pendidikan di level kepolisian harus direformasi. Dengan munculnya pernyataan itu dari kepolisian di level setinggi Kapolda menurut ICJR menunjukkan ada masalah dalam pemahaman hukum di kepolisian. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat