visitaaponce.com

Pulau Rempang Disebut Kawasan Hutan, Bukan Pemukiman Tanah Adat

Pulau Rempang Disebut Kawasan Hutan, Bukan Pemukiman Tanah Adat
Polisi lengkap dengan peralatan anti huru hara menjaga aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang, Batam(Antara)

PERSOALAN di Pulau Rempang disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terkait fakta-fakta yang belum terungkap ke publik sehingga memicu beredarnya hoaks berbau SARA.
 
Bahkan Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa tanah seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya. Menanggapi hal tersebut, pakar hukum pertanahan, Tjahjo Arianto, menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.

Baca juga: Komisi III DPR RI Akan Panggil Pengusaha dan Investor di Pulau Rempang
 
"Maka harus dibedakan, di situ Rempang itu kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU. Jadi bukan pengakuan kepemilikan, tapi pengakuan dia telah menggarap, walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya illegal," kata Tjahjo lewat keterangan yang diterima, Selasa (19/9).

Baca juga: Temui Warga Rempang, Bahlil Pastikan Proyek tidak Mengganggu Makam Leluhur
 
Termasuk soal tanah ulayat atau adat, Tjahjo menjelaskan belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang. "Kalau aturan yang tegas belum ada, hakikatnya kalau hukum ada yang namanya logika hukum. Kalau mereka menggarap tanah itu turun menurun, tinggal disitu turun menurun,  itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti dan dan di cek kembali hutan dilepaskan tahun berapa kepada para penggarap. Ini tanggung jawab Wali Kota Batam," ujarnya.

Baca juga: Soroti Kerusuhan di Rempang, Wakil Ketua MUI Sebut Aparat Berubah Fungsi
 
Menurutnya,  tidak ada istilah tanah milik negara, adanya milik pemerintah sebagai pengelola negara. Semua wilayah Batam itu direncanakan akan menjadi milik pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam, dengan ciri-cirinya BP Batam diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
 
"Jadi bila BP Batam itu mengajukan kerja sama dengan investor,  maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) divatas HPL. Artinya pemilik tanah tetap pemerintah dalam hal ini wilayah Batam," imbuhnya.

Baca juga: Guru dan Peserta Didik di Pulau Rempang akan Dapatkan Dukungan Psikososial 

Ia menuturkan bahwa pendudukan oleh masyarakat Pulau Rempang ini tidak serta-merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah.. Menurutnya kasus Kampung Tua ini berbeda dengan pendudukan yang dilakukan masyarakat Pulau Rempang atas bekas perkebunan HGU.
 
Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam, jelas Tjahjo, harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam—seperti usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.
 
Adapun pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
 
Agus pun meminta agar Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.
 
"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000 an, kemudian banyak yang mencari tanah di sana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," kata Agus.
 
Ia mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.
 
"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," kata dia.
 
Bahkan Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat. "Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," katanya.
 
Masalah konflik agraria itu pun menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019 yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat.
 
"Tadi saya lihat ada program kalo presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," tandasnya. (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat