visitaaponce.com

Relasi Antaragama di Singapura

Relasi Antaragama di Singapura
(Dok. Pribadi)

STUDI banding baik antarnegara, antaragama, antarorganisasi, atau antarkomunitas dengan komunitas lain yang memiliki benang merah ialah penting dilakukan untuk saling memahami, belajar satu dengan yang lain, dan menelaah hal yang unthinkable (belum terpikirkan) oleh kita, dan boleh jadi sudah terpikirkan dan diwujudkan oleh pihak lain.

Bersama para tokoh lintas agama yang tergabung dalam RAHIM The Ibrahim Haritage Study Center For Peace, saya mendapatkan kesempatan emas melakukan studi banding di Singapura. Para tokoh lintas agama RAHIM hendak melihat soal relasi antaragama di Singapura.

MI/Duta

 

 

Interfaith

Relasi dan dialog antaragama (interfaith), dalam ranah kultural dan kehidupan sehari-hari masyarakat terjadi secara alamiah dan wajar di seluruh negara, tanpa terkecuali di Indonesia dan Singapura, baik karena terikat hubungan tetangga, persaudaraan, maupun hubungan kerja.

Akan tetapi, kehidupan antaragama tak semulus yang diharapkan. Ada kalanya terjadi kesalahpahaman, ada gerakan dan narasi intoleran atau ada unsur politik yang memprovokasi sehingga toleransi terkoyak dan rajutan benang kerukunan menjadi kusut. Demi menyelesaikannya, dibutuhkan wadah sosial yang diharapkan dapat mempertemukan seluruh agama untuk menyelesaikan masalah dengan dialog dan kekeluargaan, yang berujung pada perdamaian.

Syahdan, wadah sosial antaragama di Singapura terbentuk pada 1949 yang diberi nama Inter-Religious Organisation (IRO). Habib Hassan Al-Attas, seorang tokoh agama dan ikon interfaith di Singapura, memberikan kepada saya sebuah dokumen pendirian IRO yang berjudul The Contribution of Religion to PEACE yang disunting oleh Rev Dr H B Amstutz dan Ahmad bin Mohammed Ibrahim.

Isinya, berupa komitmen bersama antaragama dan statemen dari setiap tokoh agama tentang kontribusi agamanya masing-masing untuk perdamaian, yaitu Sri Mehervan Singh (Sikhism), Swami Vamadevananda (Hindu), Mr. Sim Boon Hwee (Budha), Rev. Dr. H. B. Amstutz (Kristen), dan Maulana Mohamed Abdul Aleem Siddiqui (Islam).

Habib Hassan mengutip statemen Tony Blair, Perdana Mentri Inggris, bahwa IRO merupakan lembaga interfaith paling tua di dunia. Di Indonesia, ilmu perbandingan agama diajarkan pertama kali pada 1961 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1991, Gus Dur bersama ibu Gedong, Romo Mangun, dan Hasim Ardhana mendirikan interfidei, sebuah gerakan awal interfaith dari civil society, bukan pemerintah.

Menurut Mohamed Imran Mohamed Taib, tokoh interfaith Singapura—disebut Imran, bahwa ada sepuluh agama yang perwakilannya biasa berkumpul dan dialog di IRO, yaitu Baha'i Faith, Buddhism, Christianity, Hinduism, Islam, Jainism, Yahudi, Sikhism, Taoism, dan Zoroastrianism.

Sejatinya, sepuluh agama itu belum mewakili seluruh agama yang tumbuh di Singapura. Ada agama yang tidak atau belum ikut bergabung ke dalam IRO, ialah komunitas Shinto, Chinese Folk Religion, Scientology, dan golongan yang menolak agama secara institusi, tetapi tetap mengaku beragama secara spiritual-moral yang menyebut dirinya Spiritual But Not Religious (SBNR). SBNR ini senada dengan megatrend John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan tagline Spiritual, Yes. Organized Religion, No.

IRO (Inter-Religious Organisation) adalah sebuah NGO (Non-Governmental Organisation) sering bekerja sama dengan pihak pemerintah manakala dibutuhkan, khususnya, dalam menyelesaikan konflik sosial dan memberikan edukasi, serta narasi damai berbasis agama. Agar kehidupan masyarakat kembali kondusif sehingga pembangunan dan ekonomi berjalan tanpa kendala.

Selain IRO, terdapat NGO yang mengarusutamakan dialog antaragama yang didirikan belakangan, yaitu Dialogue Centre dan Centre for Interfaith Understanding (CIFU), Pusat Pemahaman antaragama yang didirikan oleh Imran bersama tokoh lintas agama yang lain.

Ada dua diferensiasi CIFU dengan IRO. Pertama, semua anggota CIFU mewakili diri masing-masing, sesuai dengan keyakinan/agama mereka sendiri. Kedua, CIFU bersifat inklusif menerima siapa pun tanpa melihat agama atau sekte. CIFU bisa bekerja sama dengan golongan yang di luar mainstream seperti Latter-Day Saints/Mormon, Shi’a, Soka Gakkai, Shinnyou-en, Ahmadiyya, Humanist Society of Singapore, dan SBNR.

Sementara itu, negara Singapura mengambil sikap sekular yang tidak ikut campur terkait agama dan keyakinan peribadi warganya. Dalam konstitusi negara Singapura memberikan kebebasan beragama selagi tidak melanggar tiga hal, yakni public order (ketertiban umum), public health (kesehatan masyarakat), dan morality (etika universal).

Meski demikian, Dr. Yaacob Ibrahim, mantan Menteri Bertanggungjawab Hal Ehwal Masyarakat Islam, yang menjabat 2003-2018, menyatakan bahwa pemerintah Singapura melanjutkan kebijakan kolonial Inggris dengan hukum keluarga bagi masyarakat muslim. Pada 1957 ada Muslims Ordinance (Peraturan bagi Masyarakat Muslim). Setelah Singapura merdeka, pada 1966 membuat Administration of Muslim Law Act (AMLA) yang melahirkan tiga institusi untuk membantu pemerintah mengadministrasi masyarakat muslim, yaitu Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), Registry of Muslim Marriages (ROMM), dan Syariah Court, sedangkan agama-agama lain diberi kebebasan untuk mengurus dirinya masing-masing.

Paska 9/11, Dr. Yaacob menerapkan kebijakan agar seluruh masjid melaksanakan open house bagi nonmuslim yang ingin mengenal Islam yang sesungguhnya, sebagai agama kasih sayang dan toleran, bukan agama teror.

 

Ko-eksistensi

Tokoh agama dari perwakilan sepuluh agama yang tergabung dalam IRO tersebut sering kali berkumpul, dialog, diskusi dan menyampaikan sikap bersama di Masjid Ba’alawi, tempatnya Habib Hassan Al-Attas.

Masjid Ba’alawi ini bukan hanya tempat salat berjemaah an sich, melainkan juga terdapat musium yang berisi kitab suci agama-agama dunia cetakan lama yang rata-rata berusia 6-7 abad, di antaranya; Al-Qur’an tulisan tangan/manuskrip, gulungan Taurat, Injil berbagai bahasa, kitab suci agama Sikhism, dan berbagai kitab kuning berbahasa Melayu yang ditulis dengan Arab Pegon cetakan Singapura. Di ruangan lain terdapat foto-foto pertemuan antaragama yang diadakan IRO di Masjid Ba’alawi.

Pandangan Habib Hassan bahwa seluruh agama itu menurut Islam tergolong Ahli Kitab, umat beragama yang mengamalkan wahyu Tuhan. Pandangannya ini tidak berhenti pada level wacana, tetapi lebih maju dalam pembuktian di kehidupan sehari-hari. Hal ini pun selaras dengan pandangan Imran dan tokoh interfaith lain di Singapura.

Habib Hassan menceritakan keakrabannya dengan Master Chin Kung, tokoh agama Buddha yang memberi Al-Qur’an berbahasa China, yang salah satunya diberikan kepada saya. Master Chin Kung juga teman karib Gus Dur.

Terlihat pemandangan yang biasa relasi harmonis antara Islam dan Yahudi yang dipraktikkan oleh Habib Hassan dan Imran dengan Rabbi Mordechai Abergel, ketua umat Yahudi Singapura—disebut Rabbi Abergel.

Habib Hassan menceritakan kunjungan Rabbi Abergel ke Masjid Ba’alawi sambil memperlihatkan foto mereka berdua dan foto bersama tokoh agama-agama lain. Pun sebaliknya, Rabi Abergel menceritakan kunjungan Habib Hassan ke Sinagog. Imran sudah biasa berdiskusi dengan Rabi. Ini sebuah cermin kedekatan dan kehangatan hubungan.

Menurut Rabbi Abergel, bahwa dalam Yahudi setidaknya terdapat tiga golongan, yaitu Ortodoks, Konservatif, dan Reformasi. Ia sendiri ialah tokoh Yahudi ortodoks di Singapura, yang terbesar dan terbanyak umatnya. Juga terdapat Rabbi Miriam Farber Wajnberg, seorang Rabbi Yahudi Reformasi dari United Hebrew Congregation (UHC).

Terdapat Sinagog dan toko khusus makanan label Kosher, label Halal Yahudi, yang berdampingan dengan rumah ibadah Hindu, Buddha, Katolik. Menurut Nazhath Faheema, aktivis interfaith, bahwa Rabbi Yahudi yang pertama kali bergabung di IRO ialah Rabbi Shababo pada 1970. Guat Kwee See pun menjelaskan pengalaman interfaith di Yerusalem, kota tiga agama Yahudi-Kristen-Muslim, yakni ketiga agama itu bisa hidup berdampingan di Singapura.

Tak kecil peran Dr Noor Aisha Abdul Rahman, tokoh muslim perempuan yang dengan telaten mendidik dan membersamai kalangan muda muslim untuk berpikir kritis, progresif, inklusif dan toleran.

Interfaith di Singapura boleh dikatakan bukan sekadar proeksistensi, melainkan juga ko-eksistensi.

 

Onak dan duri toleransi

Di Singapura, setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi onak dan duri bagi toleransi antar atau interagama. Pertama, pemahaman dan sikap sektarian. Terdapat komunitas pemahaman agama yang eksis dan mendapat perlindungan dari negara, tetapi ditolak oleh komunitas pemahaman agama yang dominan, seperti Latter-Day Saints/Mormon (Kristen), Shinnyou-en (Buddha), dan Ahmadiyya (Islam). Akan tetapi, terdapat CIFU yang menemani kaum marginal.

Kedua, politik. Menurut Idris Rashid Khan Surattee, mantan ketua pustakawan (chief librarian) di Singapore Press Holdings menyatakan bahwa konflik sosial dan kekerasan atas nama apa pun—termasuk atas nama agama—terjadi karena faktor politik. Terdapat pihak-pihak yang mengais keuntungan dan kepentingan dalam situasi tersebut. Jika tidak ada faktor politik, sejatinya masyarakat Nusantara umumnya dan khususnya Singapura berkarakter toleran dan menerima the others.

Ketiga, terorisme transnasional. Terdapat RRG (Religious Rehabilitation Group) sebuah NGO yang bekerja untuk merehabilitasi/deradikalisasi terhadap mereka yang terpapar transnasional dan terorisme. RRG pun membangun museum rehabilitasi pemahaman transnasional dan terorisme yang berbasis digital.

Untuk menjaga keragaman dan mengikis sektarian dan rasisme, pemerintah menetapkan kebijakan di setiap apartemen harus diisi oleh seluruh suku, yaitu China, Melayu, India, Arab, dan Barat sehingga tercipta inklusi sosial serta tegas kepada gerakan intoleran dan terorisme.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat