visitaaponce.com

Integrasi Teknologi dalam Pendidikan, untuk Siapa

Integrasi Teknologi dalam Pendidikan, untuk Siapa?
(Dok. Pribadi)

PADA September 2023, UNESCO merilis laporan yang membahas penggunaan teknologi selama pandemi. Pada saat itu hampir semua sekolah di seluruh dunia mengalami penutupan masif, dan proses pembelajaran beralih menjadi pembelajaran daring. Dalam laporan tersebut, digunakan istilah ed-tech tragedy untuk mengilustrasikan dampak negatif perubahan tersebut.

Dalam laporan itu, beberapa konsekuensi bagi siswa dijelaskan, termasuk meningkatnya jumlah siswa terpinggirkan dari proses pendidikan, partisipasi siswa yang rendah mengakibatkan pencapaian kurang memuaskan, serta dampak negatif pada kesehatan fisik, mental, dan sosial anak akibat penggunaan teknologi berlebihan. 

Laporan juga mencerminkan efek lain seperti kesenjangan semakin luas, kualitas menurun, dampak lingkungan dari produksi perangkat teknologi meningkat, semakin menguatnya pengaruh logika pasar dalam pengelolaan dan proses pendidikan, serta isu-isu terkait pengendalian, pengawasan, dan keamanan.

Laporan ini menjadi peringatan serius bagi kita untuk mempertimbangkan dengan cermat bagaimana peran teknologi dapat dimasukkan dalam proses pendidikan. Terutama ketika integrasi teknologi mengubah pendidikan dari hak dasar yang membantu manusia mewujudkan kemanusiaannya, menjadi sesuatu yang justru menghilangkan esensi kemanusiaan itu sendiri.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, beberapa dampak tersebut mungkin sudah ada sebelum munculnya pandemi dan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Namun, saat ini, kewaspadaan lebih lanjut diperlukan karena integrasi teknologi menjadi salah satu elemen kunci dalam transformasi pendidikan yang diterapkan pemerintah. Perlu dipertimbangkan secara mendalam apakah penggunaan teknologi pendidikan saat ini mendukung pencapaian tujuan pendidikan, dan apakah pemanfaatannya tetap seimbang dan wajar.

 

Pendidikan yang mendewasakan

 Integrasi teknologi dalam pendidikan didasari keyakinan bahwa lembaga pendidikan, yang dianggap ketinggalan zaman, sulit untuk mengalami perubahan, dan kurang memperhatikan aspek kemanusiaan, berfungsi sebagai pabrik manusia yang kehilangan relevansinya. 

Sekolah dianggap tidak mampu menyelenggarakan proses pendidikan dengan baik, dan oleh karena itu, integrasi teknologi diharapkan dapat mendorong efisiensi dan efektivitas lewat pembelajaran yang terhubung dan disesuaikan dengan kebutuhan individu.

Namun, apabila pendidikan diartikan sebagai suatu proses yang mengubah sikap dan perilaku seseorang dalam usaha mewujudkan kedewasaan melalui instruksi dan latihan (KBBI, 2023), maka pendidikan tidak dapat disederhanakan hanya sebagai kegiatan belajar semata. Terdapat serangkaian proses lain yang berlangsung sehingga pendidikan secara keseluruhan dapat terlaksana. 

Meskipun memiliki kelemahan dan keterbatasan, hampir semua negara di dunia masih memandang sekolah sebagai salah satu lembaga tempat proses pendewasaan dapat dijalankan.

Penutupan sekolah selama pandemi sebenarnya menegaskan kembali kepentingan sekolah untuk menciptakan kesetaraan dalam pendidikan dan memberikan lingkungan demi proses sosialisasi siswa. Namun, di luar aspek itu, Biesta (2022) mengingatkan bahwa sekolah juga harus menjadi tempat di mana siswa memiliki kesempatan untuk berdialog dengan dunia dan refleksi internal. Inilah tempat di mana proses pendewasaan dapat terjadi. 

Oleh karena itu, integrasi teknologi yang mendukung proses pendidikan secara holistik memerlukan pengambilan keputusan cerdas dari komunitas sekolah tentang jenis teknologi apa yang digunakan dan bagaimana integrasi tersebut dilakukan.

 

Belajar sebagai proses pemaknaan

Alasan utama integrasi teknologi ialah untuk mendukung pembelajaran yang efektif, efisien, dan personal. Meskipun tujuan ini jelas, perlu dievaluasi asumsi-asumsi yang mendasari konsep belajar dalam konteks tersebut. Sering kali, asumsi ini berfokus pada proses pengolahan informasi sebagai bentuk belajar, tanpa mempertimbangkan bahwa belajar sebenarnya adalah proses pembentukan makna (Bruner, 1990).

Perbedaan mendasar di antara keduanya terletak pada fokus proses belajar. Pendekatan yang berbasis pengolahan informasi menekankan penyampaian dan reproduksi informasi oleh siswa, yang dapat dilakukan dengan efektif melalui teknologi. 

Namun, belum tentu informasi tersebut mendukung pembentukan makna dan pertumbuhan pribadi. Sebaliknya, pendekatan yang berpusat pada pembentukan makna dapat mengakibatkan kelebihan informasi dan distorsi.

Proses belajar yang berfokus pada pembentukan makna melibatkan analisis informasi dalam konteks siswa, memperhatikan kondisi dan arah masa depan informasi dalam kehidupan siswa. Informasi disampaikan melalui bahasa sebagai bagian dari sistem simbol yang tertanam dalam budaya. 

Manusia, sebagai bagian dari budaya, memberikan makna pada informasi berdasarkan sistem simbol yang digunakan. Dalam proses belajar ini guru dapat membimbing pembentukan makna agar tidak hanya relevan dengan budaya siswa dan guru, tetapi juga menggunakan sistem simbol yang tersedia, termasuk alat konseptual dan materi di dalamnya.

Karena itu, salah satu metode pembelajaran yang dapat diadopsi ialah metode Socrates, yang mana siswa didorong untuk bertanya, berdiskusi, dan merenung. Pendekatan ini mendorong siswa mengungkapkan makna yang mereka buat, dan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan mereka menuju kedewasaan. 

Dalam konteks ini, integrasi teknologi masih dapat diterapkan asalkan dapat meningkatkan pembentukan makna. Proses ini memerlukan kepekaan guru terhadap konteks lokal, kemampuan untuk merencanakan materi yang dibutuhkan siswa, dan keterampilan dalam membimbing proses tersebut. 

Guru perlu memiliki kemampuan mengelola proses ini secara dialogis dan matang, merumuskan tindakan pedagogis yang relevan, baik dengan atau tanpa menggunakan teknologi.

Integrasi teknologi dalam pendidikan menjadi keharusan. Namun, perlu dipastikan kembali untuk siapa dan mengapa integrasi tersebut dilakukan. Proses integrasi tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa seperti yang dilakukan selama pandemi. Komunitas sekolah perlu melakukan evaluasi kebijakan integrasi teknologi dengan berpatokan pada tujuan pendidikan. 

Pemaknaan sekolah dan fungsi sekolah sebagai ruang dialog menuju kedewasaan harus diperhatikan agar proses integrasi teknologi tidak menghilangkan hakikat kemanusiaan dalam pendidikan. Guru harus menelaah asumsi-asumsi yang mendasari proses belajar yang selama ini mereka gunakan, yakni asumsi pendidikan yang memanusiakan siswa. 

Lebih jauh lagi, lembaga pendidikan yang menghasilkan guru juga perlu memastikan asumsi dasar mengenai proses pendidikan, termasuk pengertian belajar dan mengajar yang mengutamakan kemanusiaan.

Pada akhirnya, pemerintah perlu memberikan ruang bagi integrasi teknologi yang seimbang dan bermakna. Kemampuan teknis integrasi teknologi dalam pendidikan tidak serta-merta dapat mendukung proses pendidikan yang memanusiakan. 

Integrasi teknologi memiliki logika dan nilai-nilai sendiri yang berbeda dari logika dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam pendidikan. Kolaborasi berbagai pemangku kepentingan pendidikan untuk menjadikan integrasi teknologi dengan pendidikan sebagai proses iteratif yang transparan, terbuka, dan adil sangat diperlukan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat