visitaaponce.com

Kualitas Calon Hakim Ad Hoc HAM Diragukan

Kualitas Calon Hakim Ad Hoc HAM Diragukan
Aksi Kamisan untuk pengungkapan pelanggaran HAM Berat masa lalu.(MI/USMAN ISKANDAR )

TAHAP seleksi pemilihan nama calon Hakim Ad Hoc Pengadilan hak asasi manusia (HAM) pada Mahkamah Agung (MA) Tahun 2022/2023 telah rampung. Sebanyak tiga nama diumumkan Komisi Yudisial (KY) lolos ke tahap berikutnya, tahap uji kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR.

Anggota divisi pemantauan impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina Rumpia meragukan kualitas para calon Hakim Ad Hoc yang telah diumumkan pada 3 Februari lalu. Keraguan itu berdasarkan hasil pemantauan dan background check terhadap para calon hakim.

Hal ini, kata Jane, akan berdampak secara signifikan pada proses  Kasasi dari Pelanggaran HAM Berat Paniai. Di mana terdakwanya telah divonis bebas pada Desember 2022.

Baca juga: Buntut Penundaan Tahapan Pemilu, KY akan Panggil Ketua PN Jakarta Selatan

“Dalam pemantauan yang kami lakukan berdasarkan perkembangan yang tengah berlangsung, kami menemukan sejumlah catatan penting bagi Komisi III DPR RI sebelum melakukan fit and proper test di DPR,” ucap Jane kepada mediaindonesia.com, Selasa (7/3/2023).

Pertama, kata Jane, seharusnya tahapan uji kelayakan seleksi Hakim Ad Hoc HAM jadi ajang menggali visi-misi, pengetahuan dan kompetensi masing-masing calon. Seyogyanya pemantauan masyarakat ini didasarkan pada Basic Principles on the Independence of the Judiciary dan Bangalore Principles of Judicial Conduct oleh PBB.

Baca juga: Pemerintah Belum Ada Konsep Ciptakan Perdamaian Papua

Hal itu juga tercantum dalam Kode Etik Hakim dan UU Kehakiman RI, yakni untuk menelusuri independensi, imparsialitas, integritas, sikap yang patut, menjunjung kesetaraan, kompetensi, dan ketekunan para calon dengan menggali pemahaman calon secara mendalam.

Kedua, lanjut Jane, seharusnya KY tidak memilih calon Hakim Ad Hoc HAM dari kalangan Polri baik aktif maupun pensiunan. Pasalnya jika dipaksakan bisa berisiko lahirnya konflik kepentingan. Sebab, kasus Paniai merupakan kejahatan kemanusiaan yang melibatkan institusi TNI dan Polri berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Diketahui, Komnas HAM menyebut peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 merupakan dampak dari kebijakan negara, melalui Polri dan TNI yang menetapkan daerah rawan di Paniai.

“Hasil penyelidikan kemudian menyebutkan secara spesifik sejumlah Pejabat TNI/Polri yang perlu diperiksa lebih lanjut atas peristiwa ini,” ujar Jane.

“Sementara itu, salah satu dari tiga nama calon Hakim Ad Hoc HAM saat ini memiliki latar belakang unsur Polri. Sehingga, dalam hal ini Komisi III punya peran yang penting untuk mencegah peradilan yang tidak adil dan tidak memilih Hakim Ad Hoc HAM dari kalangan Polri baik aktif maupun pensiunan,” tambahnya.

Terakhir, Jane mendesak DPR agar tidak meloloskan calon Hakim Ad Hoc HAM yang memiliki pengetahuan minim terhadap mekanisme Pengadilan HAM serta HAM secara keseluruhan.

“Dalam sesi wawancara terbuka yang dilakukan pada 2 Februari 2023 kemarin, kami menemukan calon Hakim Ad Hoc HAM yang masih mendukung penyelesaian Pelanggaran HAM berat secara non-yudisial,” tutur Jane.

Padahal, kata Jane, penanganan pelanggaran HAM berat secara non-yudisial bukanlah urusan Hakim yang seharusnya hanya fokus pada yudisial.

Intinya, Jane menegaskan bahwa proses perekrutan calon Hakim Ad Hoc ini tidak dapat dilakukan secara serampangan dan seadanya.

Mengingat kasus pelanggaran HAM berat memiliki kompleksitas yang berbeda dengan pengadilan umum.

“Kami berharap agar Hakim Ad Hoc yang kali ini terpilih mampu menghasilkan Putusan yang bisa menjawab kebutuhan keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini gagal dilakukan oleh empat Pengadilan HAM yang telah berjalan (Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura, dan Paniai tingkat pertama),” tegasnya.

Tak hanya itu, KontraS juga telah berkirim surat ke Komisi III DPR RI yang berisikan catatan hasil pemantauan pihaknya terkait seleksi Hakim Ad Hoc. Jane mengemukakan KontraS juga mengajukan bahan uji kelayakan (fit and proper test) yang dapat dipergunakan oleh Komisi III DPR.

“Kami belum mendapat balasan secara formal dari pihak DPR melalui surat maupun surel (tentang hasil pemantauan pihaknya terkait seleksi Hakim Ad Hoc). Tapi kami juga akan mengajukan audiensi pascareses,” tandasnya. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat