visitaaponce.com

Penyelenggara Pemilu Dinilai tidak Transparan dan Akuntabel Kelola Anggaran Rp76 T

Penyelenggara Pemilu Dinilai tidak Transparan dan Akuntabel Kelola Anggaran Rp76 T
Ilustrasi(Dok MI )

ANGGARAN Pemilu 2024 yang mencapai angka fantastis sebesar Rp76 triliun tentu saja harus dikelola dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Akan tetapi hal itu tidak terjadi pada pemilu kali ini dan terkesan terus ditutup-tutupi pengelolaannya.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengatakan bahwa peningkatan anggaran Pemilu 2024 sangat signifikan dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Di tahun 2014, anggaran pemilu sebesar Rp7,9 triliun, kemudian naik menjadi Rp24,9 triliun untuk Pemilu 2019 dan kini meningkat lebih dari tiga kali lipat.

"Fakta di 2024 anggaran pemilu itu semua naik berapa kali lipat dari 2019. Dengan anggaran besar itu mestinya dampak yang kita lihat hari-hari ini itu nyata. Tapi dampak kenaikan anggaran nampaknya tidak cukup signifikan di setiap tahapan," ujarnya dalam diskusi media dengan tema 'Menyoal Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Penyelenggara Pemilu 2024', Kamis (3/8).

Baca juga : Anggaran Pemilu 2024 Tambah, DPR : Jangan Ada Korban Jiwa Lagi

Menurut Lucius, anggaran yang besar dengan pengelolaan yang tertutup akan sangat berbahaya. Tidak hanya bagi penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu dan DKPP, tapi juga untuk kualitas pemilu Indonesia itu sendiri.

Pemilu tidak bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas bila setiap tahapannya tidak berjalan secara baik dan benar. Kualitas pemilu ditentukan di setiap tahapan dan penyelenggara pemilu bukan sekadar panitia.

"KPU, Bawaslu dan DKPP, mereka tidak sekadar panitia saja. KPU, Bawaslu dipilih dengan proses yang cukup ribet dengan tujuan bukan sekadar panitia, mereka itu harus jadi orang yang bisa menghadirkan makna di setiap tahapannya," jelasnya.

Baca juga : Anggaran Pemilu 2024 Ditentukan Pasca Pelantikan Komisioner KPU-Bawaslu yang Baru

Lucius pun menyinggung motif awal pemilu dilakukan serentak yakni untuk menghemat anggaran. Akan tetapi sulitnya publik mengakses detail anggaran yang dikelola penyelenggara pemilu justru membuatnya makin tidak efektif dan bahkan diduga terjadi pemborosan.

 

Demokrasi Berkualitas Butuh Anggaran Tinggi

Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju, Yusfitriadi mengatakan bahwa kenaikan anggaran pemilu hingga Rp76 triliun memang berdasar pada berbagai persoalan pemilu sebelumnya. Permasalahan seperti logistik, petugas yang gugur, akses hingga peningkatan kualitas pemilu adalah tujuan utamanya.

Baca juga : KPU Minta Jadwal dan Anggaran Pemilu 2024 Segera Ditetapkan

"Mimpi kualitas demokrasi yang tinggi itu butuh anggaran yang tinggi. Itu sepakat, itu saya pikir membutuhkan anggaran yang besar. Namun besarnya anggaran itu tidak lantas dikelola secara ugal-ugalan," ucapnya.

Yusfitriadi membeberkan bahwa sampai saat ini pengelolaan anggaran pemilu tidak diketahui pasti. Sebut saja tahapan sosialisasi berapa anggarannya, untuk logistik dan lainnya itu tidak bisa diakses publik.

Disampaikannya, anggaran pemilu yang diketahui hanya totalnya saja yakni Rp76 triliun. Sementara peruntukan atau alokasi pada setiap tahapan atau program benar-benar tidak diketahui publik.

Baca juga : Dukungan Hak Angket Diyakini Bertambah

"Kalau kemudian kita gak tahu bagaimana bisa ngontrol. Kenapa ditutup? Ada apa? Kalau tidak ada apa-apa kenapa gak dibuka?, ucapnya.

Yusfitriadi menyebut ketertutupan itu lantas menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat. Anggaran yang besar dan dikelola secara tertutup tentu berpotensi korupsi dan sebagainya.

Sementara itu, Koordinator Indonesia Budget Center (IBC) Elizabeth Kusrini mengatakan bahwa pihaknya sudah melayangkan surat kepada KPU pasa 12 Juni lalu. Akan tetapi tidak ada jawaban yang diikuti dengan surat keberatan dari IBC.

Baca juga : Bawaslu Ingatkan Pengumuman Hasil Pemilu Jangan Molor

Menurutnya, IBC meminta data anggaran pemilu, logistik dan data administrasi komisioner KPU daerah. KPU baru merespons dengan mengirim email terkait data-data yang diminta di bulan Juli.

"Data yang kami terima melalui surel, data anggaran itu dilampirkan tapi judul dokumen itu gak jelas," sebutnya.

Elizabeth menilai data tersebut seperti data gelondongan. Artinya tidak ada detail alokasi yang tercantum untuk bisa dikaji pihaknya.

Begitu pula dengan data logistik dan administrasi komisioner. "Rekap data calon komisioner itu bentuknya excel, latar belakang ada buruh, swasta, rohaniwan. Itu data mati lho. Padahal dalam surat kami itu diperuntukkan untuk kajian," tegasnya.

Kurangnya keterbukaan pengelolaan anggaran dari penyelenggara pemilu, kata dia, berpotensi terjadi pemborosan. Untuk itu, koalisi masyarakat sipil harus terus mendorong agar penyelenggara pemilu segera membuka data kepada publik. (Van/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat