visitaaponce.com

PSHK FH UII Menilai MK Inkonsisten soal UU Cipta Kerja

PSHK FH UII Menilai MK Inkonsisten soal UU Cipta Kerja
Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) menggelar unjuk rasa demo di Jalan Thamrin menuju Istana Negara, Kamis (10/8).(MI/USMAN ISKANDAR)

PUSAT Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menilai Mahkamah Konstitusi inkonsistensi dalam sikapnya dalam memutus permohonan pengujian formil UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 2/2022 tentang Cipta Kerja.

Seperti diketahui, MK telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023 terhadap pengujian formil UU tersebut. MK menolak lima gugatan dan memutuskan bahwa UU yang ada tetap berlaku.

Peneliti PSHK FH Muhammad Addi Fauzani dan Muhammad Erfa Redhani dalam siaran pers PSHK FH UII, Rabu (4/10), menegaskan ketidak konsistenan Mahkamah Kostitusi itu sangat nampak terlihat.

"Di satu sisi, dalam pertimbangan MK pada putusan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK mengamanatkan pembentuk UU membuka ruang selebar-lebarnya lewat partisipasi bermakna oleh rakyat atau meaningfull participation dan untuk menggunakan waktu 2 tahun secara efektif dalam memperbaiki UU Cipta Kerja," kata Addi.

"Namun di sisi lain, yakni pada putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023, MK justru menghilangkan konsep meaningfull participation dengan dalih produk hukum lahir karena dibentuk dengan Perppu dan mengabaikan amanat waktu yang ditegaskan oleh MK," kata Addi lagi.

Padahal, katanya, terdapat peluang konstitusional lain dalam memperbaiki UU Cipta Kerja, yakni lewat pembentukan UU secara cepat (fast track legislation). Dengan adanya inskonsistensi MK yang demikian, lanjutnya, telah membuat adanya ketidakpastian hukum serta ambiguitas Putusan MK.

Tidak hanya itu, PSHK FH UII menilai Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023 juga mengeliminir dalil, baik Perppu maupun UU penetapan Perppu tidak memenuhi syarat sebagai bentuk hukum peraturan perundang-undangan yang dapat disusun menggunakan metode omnibus. Karena, katanya, berdasarkan Pasal 42A UU Nomor 13/2022 metode omnibus dalam Pembentukan per-uuan harus dicantumkan sejak tahap perencanaan dalam dokumen perencanaan Pembentukan Perundang-Undangan.

Oleh karena itu, tegasnya, UU 6/2023 yang bermula dari Perppu 2/2022 yang disusun menggunakan metode omnibus pada dasarnya menyalahi prosedur formil sebagaimana diatur dalam UU 13/2022, dan seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Erfa menambahkan, Putusan MK Nomor 54/PUU-XXI/2023 juga menafikan dalil bahwa secara formil, persetujuan DPR terhadap Perppu Cipta kerja tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 karena batas waktu yang ditentukan sudah berakhir.

"Berdasarkan penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU No. 12/2011 menyatakan bahwa persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan," ujarnya.

Perubahan sikap yang terjadi dalam Putusan MK Nomor 54/PUU/-XXI/2023, kata dapat diduga tidak terlepas dari perubahan komposisi hakim konstitusi yang dihasilkan dari proses rekrutmen terakhir yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Proses rekrutmen tersebut disinyalir kuat dilakukan dengan tidak mengindahkan prinsip seleksi yang objektif, akuntabel, transparan dan terbuka," ujarnya.

Menurut dia pemberian legitimasi atas Perppu Cipta Kerja maupun UU penetapan Perppu Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 54/PUU/-XXI/2023 memang benar-benar mengabaikan logika hukum yang telah dibangun oleh MK sendiri melalui putusan-putusan terdahulu sebagaimana telah dijelaskan pada poin-poin sebelumnya.

Dengan demikian tidak berlebihan muncul dugaan akademisi bahwa telah terjadi praktek legalisme otokratis yang menyatakan bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi perbuatan para otokrat.

PSHK FH UII, ujarnya, merekomendasikan penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif dan yudikatif agar tetap tunduk pada 
konstitusi dan tidak menjadikan hukum sebagai alat untuk memuluskan kebijakan-kebijakan yang ditolak oleh rakyat.

Kemudian, kepada presiden agar ke depan tidak lagi menciptakan preseden buruk dengan cara menyalahgunakan kewenangannya untuk menerbitkan Perppu sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang sekadar untuk mempercepat pembentukan dan perbaikan dari suatu UU tanpa melibatkan DPR.

Lalu, hakim konstitusi sudah selayaknya menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dengan memperlihatkan sikap yang teguh dan konsisten terhadap penyelenggaraan negara yang konstitusional.

Akademisi dan organisasi masyarakat sipil juga harus tetap memberikan pengawalan agar penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan hukum dan keadilan. (Z-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat