visitaaponce.com

Warga Dikejutkan Spanduk Kritisi Mahkamah Konstitusi Terpasang di Jalan Kota Bogor

Warga Dikejutkan Spanduk Kritisi Mahkamah Konstitusi Terpasang di Jalan Kota Bogor
Spanduk bertuliskan 'Mahkamah Keluarga' di flyover Martadinata Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/10)(Ist)

TERPASANG spanduk bernada kritik terhadap Mahkmah Konstitusi (MK) dan politik dinasti bermunculan di Jembatan Layang (flyover) RE Martadinata di Kelurahan Kebon Pedes, Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat Minggu (15/10). 

Kemunculan spanduk tersebut menjelang putusan uji materi tentang batas usia capres/cawapres yang akan dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, besok atau Senin (16/10).

Dalam sebuah video yang beredar luas, masyarakat pengendara sepeda motor terdengar mempertanyakan apakah MK masih bisa diharapkan sebagai mahkamah  penjaga konstitusi dan menjaga independensi demi mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.

Baca juga: Jelang Putusan Batas Usia di MK, Pengamat Ungkap Bahayanya Konflik Kepentingan

"Spanduk apa ini berjejer, (isinya) Mahakamah Keluarga, politik dinasti. Oh, dinasti tahu enggak kayaknya (ini soal) Jokowi naikin Gibran deh kayaknya," ujar pengendara  tesebut. 

"Waduh emang Mahkamah (MK) milik keluarga kan harusnya menaungi negara ya, dinasti berarti ga mau geser-geser nih (melanggengkan kekuasaan), mau naikin anaknya Jokowi nih, kan emang lagi ramai," respons rekannya.

Sebelumnya, baliho Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka marak bermunculan di mana-mana menyambut putusan uji materi tentang batas usia capres/cawapres di MK.

Baliho itu, misalnya, tampak di sejumlah titik strategis Kota Kudus, Jawa Tengah. Pemasangan baliho Prabowo-Gibran itu dilakukan oleh pengurus Gerindra dan relawan Gibran setempat. 

Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Nilai MK tidak Berwenang Tetapkan Batas Usia Capres-Cawapres

Tak hanya itu, di media sosial muncul video pembuatan kaus Prabowo-Gibran. Kaus yang berkarung-karung itu siap diedarkan. Dukungan untuk duet Prabowo-Gibran datang juga dari relawan Pro-Jokowi.

Gugatan batas usia capres di MK diduga untuk memuluskan jalan putra sulung Presiden Jokowi yang kini menjabat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.

Pendapat Pakar Hukum UGM 

Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) sekaligus pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, menilai MK melanggar UUD 1945 jika mengubah batas usia capres-cawapres melalui putusannya nanti.

Oce menyampaikan, MK telah menegaskan bahwa isu konstitusionalitas persyaratan usia minimum bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik, merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.

Sehingga, artinya, penentuan persyaratan usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya dari pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. Bukan MK. 

"UUD 1945 tidak mengatur soal angka-angka atau syarat usia sebuah jabatan publik. Berbagai jenis jabatan publik di pemerintahan, persyaratan usianya diatur dalam undang-undang. Khususnya berkaitan dengan Pemilihan Presiden, UUD 1945 telah mengatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang," ucap Oce Madril, dalam keterangannya, Jumat (13/10/2023).

Pakar hukum UGM itu menjelaskan, Pasal 169 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah mengatur persyaratan capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun. Sehingga telah jelas, syarat usia yang ditentukan oleh UU Pemilu sebagai peraturan delegasi dari Pasal 6 UUD 1945.

Baca juga: MK Harusnya Tolak Uji Materi Syarat Usia Capres-Cawapres

"Apabila kemudian MK mengubah syarat usia minimal capres/cawapres atau menambahkan syarat baru, seperti 'berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah', tentu hal tersebut melanggar prinsip open legal policy yang ditegaskan dalam berbagai putusan MK," kata Oce.

"Bahkan lebih jauh, hal tersebut dapat dikatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang telah memerintahkan agar syarat Capres/Cawapres diatur dalam UU Pemilu," ungkapnya.

Lebih lanjut, Oce menyoroti putusan MK No. 112/PUU-XX/2022 yang berkaitan dengan syarat usia minimal 50 (lima puluh) tahun untuk dapat mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK. 

Menurutnya, dalam putusan tersebut, MK tidak mengubah syarat usia minimal, tetapi menambahkan syarat bahwa seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, maka dapat mencalonkan kembali untuk menjadi Pimpinan KPK pada periode kedua, meskipun umurnya kurang dari 50 tahun. 

Melalui putusan MK nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut, Oce menilai, dapat ditarik kesimpulan bahwa MK tidak mengubah usia minimal untuk menjadi pimpinan KPK yang telah ditentukan dalam UU KPK. 

Baca juga: Usia Capres-Cawapres, Mahkamah Konstitusi Harus Sadar sedang Dipermainkan

"Bahwa MK memang menambahkan syarat baru, tetapi syarat tersebut sangat terbatas hanya berlaku bagi pimpinan KPK yang sedang menjabat apabila ingin mencalonkan kembali menjadi pimpinan KPK di periode kedua. Syarat baru tersebut tidak berlaku bagi umum, jadi sangat spesifik," kata Oce.

"Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hingga saat ini sebenarnya MK masih konsisten dengan pendiriannya mengenai syarat usia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang ditentukan oleh undang-undang, bukan oleh putusan MK," sambungnya.
 
Ia menegaskan, jika nantinya MK mengubah pendiriannya dalam putusan berkaitan dengan usia minimal capres-cawapres, maka MK dapat dianggap larut dalam dinamika politik Pilpres yang akhir-akhir ini disaksikan oleh publik secara luas.

"Inkonsistensi sikap MK ini dapat menurunkan kredibilitas MK sebagai the guardian of constitution," kata Oce Madril. (S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat