visitaaponce.com

Apindo Minta Pemda tidak Terburu-buru Implementasikan Pajak Hiburan

Apindo Minta Pemda tidak Terburu-buru Implementasikan Pajak Hiburan
Ilustrasi pajak hiburan(Ist )

KETUA Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan asosiasi sudah menyampaikan kepada pemerintah, dan harapkan mendapatkan solusinya. Dia mengatakan karena aturan terkait tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang menyasar jasa hiburan diatur dalam bentuk Undang-undang No. 1 Tahun 2022, maka undang-undang tidak bisa dibatalkan.

Oleh karena saat ini undang-undang sudah diberlakukan, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh pengusaha adalah melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan beleid tersebut direvisi.

Menurut Apindo, konsep pajak pungut adalah semakin tinggi harga produk atau jasa, maka akan semakin tinggi nilai pajaknya. Maka dari itu, nilai pajak hiburan idealnya maksimal 10%, seperti halnya pajak hotel dan restoran saat ini.

Baca juga: PHRI Jawa Barat bakal Gugat Kenaikan Pajak Hiburan 40% ke MK

“Memang saat ini harus judicial review terlebih dahulu. Pembatalan undang-undang tidak bisa segampang bilang mau dibatalkan. Sembari ini proses, dari sekarang sambil kami inginkan pemerintah daerah masing-masing jangan terburu-buru mengambil keputusan untuk memperlakukan pajak 40% sampai 75%," kata Shinta, ditemui di Jakarta, Kamis (18/1/2024).

Apindo berharap pemerintah daerah ini bisa lebih memberikan kesempatan untuk supaya pemberlakuan undang-undang dievaluasi kembali.

Baca juga: Asosiasi Minta Kenaikan Pajak Hiburan Jadi 40% Dikaji Ulang

Dia membenarkan aturan ini sebuah polemik. Di dalam undang-undang tersebut, kata Shinta, menyebutkan akan berlaku dalam 2 tahun yang akan datang, artinya di 2024. Meski periode tersebut panjang sejak 2022, tetapi tidak ada yang menyadarinya bahwa aturan tersebut akan berlaku. Sebab di sisi lain para industri sektor pariwisata dan hiburan masih sibuk untuk memulihkan keuangan mereka.

"2 tahun waktu yang cukup panjang. Hanya saja ini tidak ada yang aware sampai sejauh ini. Satu-satunya jalan harus judicial review. Kita mesti menyadari bahwa pajak hiburan itu sudah dari dua tahun yang lalu, uu nomor 1 tahun 2022. Itu sudah diundangkan. Jadi masalahnya mungkin sosialisasinya kurang pada waktu itu, dan ini menimbulkan polemik yang luar biasa," kata Shinta.

Apindo sedang mengupayakan sosialisasi ke pemerintah daerah masing-masing, mengimbau supaya mereka menghentikan, menunda maupun tidak mengimplementasikan aturan tersebut, karena juga akan berdampak ke pendapatan daerahnya.

Sebab yang terkena tidak semata industri hiburan, diskotek dan sebagainya tapi ekosistem yang terkait, yang merupakan labour intensive. Dia mencontohkan seperti industri spa yang basisnya budaya seperti di Bali,

"Kalau kami inginnya pajak tetap seperti sekarang (di 10%). Tidak usah ada penambahan lain. Kita ingin mengintensifkan supaya perusahaan-perusahaan ini lebih tumbuh sehingga lebih banyak bisa berkontribusi kepada pajak daerah juga. Jadi jangan dikikis, justru mesti tumbuhkan," kata Shinta.

Meski biasanya kemudian akan ada aturan turunan keringanan dari pemerintah berupa usulan-usulan seperti insentif, namun masalah akan menjadi lebih kompleks.

"Mendingan di review kembali jangan sampai ini diimplementasikan," kata Shinta. (Try/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat