visitaaponce.com

Nasib Perempuan di Demokrasi Bercorak Otoriter

Nasib Perempuan di Demokrasi Bercorak Otoriter
Ilustrasi.(Freepik)

"HAK pilih perempuan adalah hak yang fundamental. Perempuan harus memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam politik dan demokrasi." (Sukarno, Indonesia Menentukan Nasibnya - Risalah Kongres Pemuda Indonesia Kedua -1928).

Laporan Variaty Democracy 2024 (berdasar data 2023) menempatkan Indonesia ke dalam kategori Demokrasi Elektoral meski berada di grup terendah bersama Malaysia. "Namun, pelaksanaan Pemilu 2024 yang banyak kontroversi dan kecurangan tampaknya telah melempar Indonesia ke kategori Demokrasi Bercorak Otoriter," ujar Eva K Sundari selaku Ketua Institut Sarinah.

V-Dem_Democracy-Report_2024 tersebut juga menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami kemunduran. Beberapa indikator disajikan sebagai alasan misalnya menyempitnya kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan partisipasi politik. Laporan V-Demokrasi sebenarnya melengkapi kesimpulan yang sama oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) 2023 yang menyebut Indonesia sebagai flawed democracy atau demokrasi yang cacat. Sebelumya House of Freedom (2021) menyebut demokrasi Indonesia sebagai partly free (sebagian bebas).

Baca juga : Prabowo Sebut Partai NasDem Tunjukkan Kedewasaan Berpolitik

Eva melanjutkan bahwa V-Dem mengingatkan bahwa korupsi, nepotisme, dan lemahnya penegakan hukum sebagai permasalahan serius demokrasi Indonesia. Film Dirty Vote tahun 2024 atau Film Sexy Killer serta hasıl investigasi jurnalisme terkait kebijakan perijinan tambang memberikan data dugaan adanya state's captured corruption (korupsi oleh negara) di sektor tambang.

Masih ada harapan agar demokrasi Indonesia membaik menurut V-Dem_Democracy-Report_2024 yaitu jika ada tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dan tingkat kepercayaan publik yang relatif besar kepada lembaga-lembaga demokrasi. Faktanya, pelaksanaan Pemilu 2024 membuyarkan harapan tersebut. 

Laporan nitizen tentang praktik kecurangan pemilu memang lebih buruk dari Film Dirty Vote. Kecurangan, intimidasi, politisasi bansos, politik uang dilakukan secara masif, baik oleh birokrasi, aparat keamanan, dan partai politik koalisi maupun oleh masyarakat sipil, baik penyelenggara, pengawas pemilu, maupun pemilih. 

Baca juga : Mahfud MD: Gugatan ke MK bukan untuk Jadi Pemenang

Pemilu 2024 memang telah mampu menggerakkan pemilih hingga sekitar 80-an%, tetapi jika karena dorongan politik uang dan gentong babi, itu berarti penipuan. Litbang Kompas menemukan ada 51 juta pemilih menerima bansos dari timses Koalisi Indonesia Maju dan aparat. Pantas jika kemudian 62% penduduk setuju ada Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024 di DPR untuk menyoal kemenangan pilpres satu putaran. 

Dari perspektif Feminisme Pancasila, kecurangan Pemilu sudah dimulai saat KPU Mengeluarkan PKPU No 10/2023 yang membatasi partisipasi perempuan untuk dipilih. PKPU ini menghilangkan asas keadilan dari Pemilu 2024. Apalagi, KPU kemudian mengabaikan rekomendasi MA dan Bawaslu untuk memperbaiki PKPU no 10 tersebut.

Kampanye perempuan (terutama yang nonkoalisi) semakin sempit saat menghadapi politik uang dan gentong babi. Kerja-kerja politik yang akuntabel terhapus apalagi kemudian menghadapi kecurangan saat penghitungan suara. Caleg perempuan tidak berdaya menghadapi praktik pemindahan suara atau penggelembungan oleh saksi partai, PPS, dan PPK, maupun dari sistem siRekap milik KPU. 

Baca juga : Anies Baswedan: Hasil Pemilu yang Baik tidak Diciptakan melalui Proses Bermasalah

"Caleg perempuan menghadapi lebih banyak hambatan mulai prapendaftaran (diskriminasi di internal partai dan PKPU), saat pencoblosan (politik gentong babi dan diskriminasi di masyarakat), hingga pascacoblosan berupa kecurangan rekapitulasi suara. Bagi perempuan, pemilu 2024 ialah tidak jurdil karena tirani uang dan perilaku otokrasi dari kekuasaan," paparnya.

Praktik politik uang memiliki dampak yang signifikan bagi politisi perempuan karena mempersempit ruang politik mereka. Politik uang membuat perempuan lebih sulit untuk memasuki dunia politik dan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Politik uang juga memperkuat stereotip bahwa perempuan tidak membawa alternatif politik dan permisif terhadap penyuapan sehingga tidak kompeten untuk dipilih. Perempuan (di koalisi pemenang) juga kemudian dianggap menjadi pendorong korupsi karena kandidat yang terpilih juga akan berusaha untuk balik modal.

Baca juga : Pimpin Demo di KPU, Refly Harun Ajak Masyarakat Tolak Hasil Pemilu

Politik uang atau tirani uang jelas merobek prinsip demokrasi karena menggantikan kontestasi gagasan/orang dengan uang. Politik uang juga mendistorsi proses demokrasi dengan memberikan keuntungan bagi kandidat yang memiliki uang lebih banyak.

Adanya fakta politisasi bansos dan tirani uang jelas menjadikan Pemilu 2024 tidak bisa disebut jujur dan adil (jurdil) secara keseluruhan karena korbannya laki dan perempuan yang berintegritas. Politisi yang menang merasa tidak perlu membangun ikatan dengan pemilih karena ikatannya transaksional: beli suara. Politisi justru merasa lebih berutang kepada pemodal mereka yaitu pengampu koalisi. 

Dengan demikian, kata Eva, Pemilu 2024 telah menyorongkan RI ke praktik demokrasi bercorak otoriter dengan cara menggabungkan elemen demokrasi dan otokrasi. Pemilihan umum memang berlangsung tetapi dengan kontrol kuat dari pemerintah (penguasa).

Baca juga : Sambut Ramadan, Rampai Nusantara Gelar Silaturahmi Nasional

Demokrasi bercorak otoriter juga ditandai dengan pembatasan kebebasan berekspresi dan berasosiasi. Intimidasi oleh aparat keamanan dan birokrasi dialami oleh para guru besar yang kritis selain dialami oleh aktivis, HAM, lingkungan, dan BEM. 

Penegakan hukum yang lemah juga menjadi indikator adanya demokrasi bercorak otoriter. Bawaslu mendiamkan saja Presiden dan para menteri koalisi berkampanye tanpa cuti. Mobilisasi aparat negara dan politisasi bansos menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan alias kesewenang-wenangan juga berlangsung tanpa protes Bawaslu. 

Akuntabilitas pemerintah dan lembaga-lembaga negara dan birokrasi akan menyulut korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan telah pula diikuti oleh pejabat-pejabat di tingkat yang lebih rendah. Ibarat kanker yang dibiarkan, penyakit itu akan membawa kematian bagi bangsa ini. 

Baca juga : Rektor UMJ Sebut Putusan Penghapusan PT Bisa Diberlakukan 2024

Sistem proposional tertutup

Menurut Eva, kembalinya otoritarianisme dipicu karena presiden dan melanggar dua Tap MPR. Pertama, Tap MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Salah satu poin yang tercantum dalam tap ini ialah larangan terhadap praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat.

Kedua, Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Ketentuan Pokok Kejuangan MPR dalam Mewujudkan Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam tap ini, MPR menegaskan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menegaskan komitmen untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

"Otorianisme presiden bisa tumbuh dan membesar karena ada kolusi pemerintah dan DPR. Pelanggaran terhadap dua Tap MPR di atas meloloskan revisi UU ASN berisi karpet merah untuk praktik dwifungsi TNI dan Polri. UU ini bisa juga menjadi bagian kecurangan pra pemilu dan gentong babi untuk pemenangan pilpres," urainya. 

Baca juga : KPU Bantah Mematok Hasil Pemilu Sejak Awal

Demokrasi bercorak otoriter harus direstorasi karena mengkhianati reformasi. KPU harus akuntabel sebagaimana KPU di Pemilu 2004. Presiden Megawati menjadi kunci karena mematuhi janji hingga empat kali di hadapan KPU bahwa ia tidak akan cawe-cawe walau Megawati ikut pencapresan di Pemilu 2004. 

Harus ada UU tentang Lembaga Kepresidenan untuk memastikan Presiden tidak melanggar dua Tap MPR di atas sebagaimana teladan Presiden Megawati. Sedangkan untuk pemilu legislatif harus kembali ke sistem proposional tertutup. 

Eva menjelaskan bahwa tirani uang membunuh asas jurdil karena meminggirkan minoritas dan menggerus integritas harus disingkirkan. Hikmat musyawarah hanya akan tercapai jika parlemen diisi dan dihadiri politisi lintas gender: kaya-miskin, perempuan-laki, mayoritas-minoritas, tua-muda, Jawa-luar Jawa, desa-kota, pro kapital-pro bumi, dan seterusnya. 

Baca juga : KTT Ketua Parlemen Perempuan di Prancis, Puan Singgung Pemilu RI

Tirani uang harus dihilangkan karena juga berisi penipuan demokrasi karena memberi jalan bagi para plutokrat/oligarki mengontrol sistem politik dan pemerintahan negeri. Penguasa oligarki akan menghalangi berjalannya demokrasi ekonomi karena melahirkan penjajahan politik berupa pemerintahan yang pro kapital dan antikerakyatan. 

Pemilu sistem terbuka (liberal) terbukti eksklusif karena koruptif bagi bangsa yang punya indeks persepsi korupsinya (IPK) sebesar 34. Pemilu 2024 telah dikorupsi, baik oleh pemerintah dan negara, para caleg, penyelenggara, pengawas, maupun bahkan oleh pemilih. Perilaku demikian tidak terjadi saat Pemilu 2004 dengan sistem tertutup. 

Sistem pemilu proporsional lebih inklusif. Bagaimanapun, sistem demokrasi elektoral lebih akuntabel. Pemilu menjadi jurdil sehingga bisa mewujudkan demokrasi substantif yaitu asas satu untuk semua dan semua untuk semua dari sila 5 Pancasila bisa diwujudkan.

Baca juga : Ratusan Perempuan Meminta Jokowi Diadili karena Rusak Demokrasi

"Sistem pemilu proporsional tertutup akan meningkatkan akuntabilitas parpol karena mengembalikan fungsi pokok parpol untuk mengakselerasi aspirasi rakyat. Yang paling penting, sistem pemilu tertutup dapat mengurangi korupsi dan fragmentasi politik sehingga pemerintahan menjadi lebih stabil," tegas dia.

Di banyak negara yang prorakyat (sosialis) memilih sistem pemilu yang tertutup atau proporsional. Di negara-negara Skandinavia, Eropa Barat, Latin Amerika, dan sebagian Afrika berhasil mewujudkan representasi perempuan yang tinggi di parlemen dan pemerintahan.

Di negara-negara tersebut praktik afirmasi dijamin oleh hukum atau kebijakan internal partai masing-masing. Kebijakan yang popüler ialah sistem zipper di list caleg atau melalui kebijakan reserved seat pascapenghitungan perolehan kursi partai.

Baca juga : Diduga Melanggar Pemilu 2024, Pimpinan hingga Anggota KPU Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Beberapa contoh negara sosialis yang sukses menaikkan partisipasi perempuan di politik misalnya Finlandia (47,7%), Swedia (47,3%), Spanyol (43,6%), Belgia (42,8%), Denmark (42,3%), Jerman (41,4%), Austria (40,8%), Portugal (40,6%), dan Selandia Baru (48,8%). 

Setidaknya ada 11 negara di Amerika Latin telah menyusul Eropa di atas dengan keberhasilan tertinggi oleh Kuba mencapai 50%. Di Afrika ada 10 negara dengan capaian tertinggi yaitu 61% di Rwanda. Di ASEAN, belum ada satu pun yang representasi perempuan mencapai lebih dari 40%. Capaian tertinggi ialah Timor Leste sebesar 38% dan Laos 30%.

Demokrasi bercorak otoriter harus disudahi. Akuntabilitas Pemilu 2024 harus digugat melalui Hak Angket DPR RI. Dengan demikian, imbuh dia, sistem pemilu bisa dibenahi dan konsolidasi demokrasi bisa dilanjutkan kembali. (RO/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat