visitaaponce.com

Puisi-puisi Anton Sulistyo

Episode Waktu


Di rumah duka bersama orang-orang kehilangan
Nama-nama leluhur kupanggil tapi nihil sahutan

Langit tampak terpencil. Hati mendadak menggigil
Alarm arloji bergetar menggoyang pergelangan tangan
Keraguan seperti biasa mulai bersenandung:

- Dari ada menjelma tiada 
  Apakah akan kembali lagi ke ada?

Embusan angin kemarau yang anomali
Sudah tak terhitung lagi membentur dahi 
Meninggalkan bekas hitam
Garis-garis tajam kenangan
Menyerupai labirin ajaib tanpa ujung 
Membuat napas sesak dan batin terisak

Dalam terowongan panjang nasib, terlantar
Dan menggelepar. Terasing dan menggelinding 

Di pemakaman bersama orang-orang berduka
Jalan pulang ke rumah leluhur terbentang 
Serasa tidak lebih jauh daripada pintu
Menuju kamar tidur kekasihku.-

Tanah Kusir, 2021.

 


Telepon Tengah Malam


Mendengar suaramu di telepon pada tengah malam
tubuh dan ruh mulai berdansa bersama derai gerimis

Suara ricik air begitu ritmis mengetuk kaca jendela
menjadi musik pengantar berlayar ke masa silam

Di atas bantal masih tersisa wangi shampoo rambutmu
dan aroma parfum melati melayang sepanjang gang
mengikuti kibaran baju tidurmu ke dunia mimpi

Di dalam kepalaku ada ribuan kata-kata
menyusun dirinya sendiri menjadi doa
atau mungkin cuma puisi cinta biasa saja.-

Queens, 02032020.

 

 

Eksil

 

                       -1- 
Karena semua memang sudah dinubuatkan
kutukan itu mengejawantah dalam buah apel 
yang tiba-tiba disodorkan ke mulutku
aku patuh, menyantapnya dengan cinta
rela menanggung duka kehilangan surga

Lantaran sebagai manusia pertama, aku yakin
masih dapat mengirup wangi surga yang lain
                     di hutan-hutan paling rahasia
                     di sekujur tubuhmu, Hawa

                       -2-   
Sesudah titah dari yang tak berwajah menghardikmu 
sesudah badai berlalu, pada pagi pertama celaka itu
lanskap firdaus seketika terhapus, tinggal cerita
tak terhitung tunas dosa-dosa baru bermunculan
tak terhitung tangis penyesalanmu yang percuma

  “Bersabarlah, kita hanya terlantar sebentar
   mengarungi waktu yang hambar.”

Aku ingin mengucapkan kalimat penghiburan itu, Hawa
sambil membayangkan diri menjadi daun-daun kering
yang tabah menyambut kedatangan musim gugur
seakan tahu kapan saatnya mati dan hidup kembali

Dan kelak akan dituliskan orang:
domba-domba yang minggat akan dicari
dan diterima kembali dalam perjamuan abadi.-

Queens, 2020.

 

 

Senandika Pohon


                          ( 1 )
Sesaat sebelum diriku ditetapkan untuk tumbang dan mati
aku bersumpah - pada batang, ranting, daunan, bakal buah 
dan bunga-bunga - akan terus tumbuh 

Dalam bentuk serbuk lembut cahaya berkilauan
di atas kanvas langit berkabut, melayang-layang
seperti mimpi yang pelan-pelan menghilang

  “Pandanglah, lalu ingatlah kehangatanku yang dulu 
   sebelum ragaku menjadi dingin, kaku serta bau.”

Aku bersumpah, akan terus tumbuh 
  “Pelan tapi pasti, suatu saat kelak
  aku akan menjadi bagian dari dirimu.”

                          ( 2 )
Sebelum istirahat malam aku mengucap mantra

  “Sungguh bahagia diri menjelma batu abadi
   tabah melewati tahap evolusi berkali-kali”

Terbayang sungai dan laut menjadi ranjang tidurku
cuaca dan angin tak kuasa merubah bentukku
aku berjalan riang melawan gravitasi

Melihat dunia saat belum sepenuhnya jadi
di mana manusia masih bermimpi dan tertegun
saat terbangun mendapati dirinya mati.- 

Bintaro, 2023.

 

 

Attar


Hembusan napasmu
Menebar wangi
Bunga mekar
O, Attar

Burung-burung sunyi
Mencari cermin
Alam raya
Di diri

Enigma hidup
Langit luas terbuka
Menyimpan Tuhan

Himpunan waktu 
Menyulut api cinta
Engkau dan aku.-

Apt M, 15122019.


 

Katedral St. Patrick


Hatiku jendela
Terus terbuka
Bagi angin 
Dan rindu

Waktu pelan-pelan
Memupus nyeri
Luka tikam
Stigmata

Di tengah kubah
Ada gema ratapan
Orang gelisah

Lonceng katedral
Berdentang di udara
Membilang ajal.-

NY, 2020.


Baca juga: Sajak-sajak Remy Sylado
Baca juga: Sajak-sajak Yevgeny Yevtushenko
Baca juga: Sajak-sajak Osip Mandelstam

 

 

 

MARIA ANTON SULISTYO, penyair, dilahirkan di Jember, Jawa Timur. Puisi-puisinya masuk dalam antologi bersama sejak tahun 1991 – 2023. Belum Dalam Lukamu! adalah satu-satunya kumpulan puisi tunggalnya, diterbitkan oleh Sastra Digital pada September 2013. (SK-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat