visitaaponce.com

Puisi-puisi Dwi Aryand

Puisi-puisi Dwi Aryand
(Ilustrasi: Sergey Taranik)

Merindu Seumur Hidup

 

Untuk kesekian kali aku melangkah ke sini dan ke sana, meninggalkan jantung dan cahaya. Tuk menemuinya. Jauh, buram, dan tak jelas.

Bahkan dari sini, kulihat kepalanya bertunas dua. Tapi aku yakin itu memang dia; 25 tahun lagi pun aku masih bisa mengenalinya. Ia tertanam dan diberi pupuk.

Kuhampiri ia yang tampak bingung, bak semut ketinggalan kelompok. Kaget bukan main saat kutepuk pundaknya; mungkin ia takut pundaknya kucuri. Aku tertawa kecil, selalu lucu tingkahnya. Ia menatapku lekat-lekat, hampir masuk ia ke diriku, lagi.

Kepalanya menghantam batu, lupa ingatan membuatnya lupa juga denganku. Kini, kubawa ia pulang ke duniaku yang teduh dan tak riuh; yang tenang agar ia tak gamang.

"Tunggu, sebelah sepatuku tinggal," katanya.
Ia belum bisa ikut ternyata.

Februari, 2024

Baca juga : Puisi-puisi Fajrul Alam


 

 

Maling Rusuk

 

Kalau ingin menangis tak apa,
tak ada yang marah.
Bukannya pria juga manusia?
Katamu, seorang pria sejati 
tak boleh menancapkan pisau ke dadanya.
Bahkan katamu, seorang pria sejati
tak boleh mengikat kedua tangannya di angkasa raya.
Bila mau, sebenarnya kau boleh.
Tak ada yang larang, tak semua pria terbuat dari semen kokoh; 
ada pria yang hanya terbuat dari rusuk wanita.
Maka jadilah bijak karena sudah mencuri rusuk ini.

Januari, 2021


 

 

Rahasia dari Ibu

 

Menurutku, langit-langit kamar 
sudah muak melihat aku menangis. 
Seandainya ia hidup, apakah akan memarahiku 
atau memelukku hangat dalam sebuah rumah?

Namun aku harap ia tak hidup,
nanti ia bongkar semuanya kepada ibu; 
nanti ibu bisa tahu aku menangis
nanti ibu bisa tahu aku mengiris jari ini
nanti ibu bisa tahu aku mencabut nyawaku. 
Nanti ibu tahu!

Juli, 2020

Baca juga : Puisi-puisi Dimas Anggada


 

 

Usang

 

Sepatu cokelat itu berjalan ke arah kantor sambil meracau karena debu dan sawang. Siangnya, ia pulang untuk bertukar peran dengan sandal hitam. Pergi ke arah masjid. Lagi-lagi berdecak, kali ini sebabnya adalah jaring laba-laba. 

Sepatu cokelat berjalan lagi dengan cepat untuk kembali pulang di sore hari. Meminta peran lagi kepada sandal hitam untuk menjalankan tugas. Sialnya, sandal hitam membawanya ke neraka. Ia pergi menemui sepatu merah berhak tinggi, wajar menggoda. Di rumah, kami tidak punya.

Juli, 2020


 

 

Ketika Hanya tinggal Kanan

 

Sebelah sendirian. Tidak, tidak. Masih ada tiga lagi yang akan menemani. Tak akan dibiarkan kesepian, tidak akan. Kiri penghianat, pergi mencari kanan yang baru. Mencari kesenangan sesaat yang akan disesalinya. Kiri tak tau terima kasih. Kiri tak mengerti dikhianati. Kiri tak tau rasanya tak diperduli. 

Si nomor satu menangis, nomor dua tertawa miris, lupa raga, lupa jiwa. Nomor tiga tak tahu apa-apa; ia masih senang bermain dan meminta darah. Padahal, untuk bernapas pun sulit saat ini. Rumah hancur, tangganya bersisa. Sisa terakhir untuk ikut dihancurkan. 

Juli, 2020

Baca juga : Puisi-puisi Andi Wirambara

 

 

 

 


Dwi Aryand, nama pena dari Dwi Rizka Aryanti, lahir di Sisumut, Labuhanbatu Selatan, Sumatra Utara, 19 September 2000. Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (2023). Kini bergiat dan berkarya dalam ranah perpuisian di Banda Aceh. (SK-1)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat