visitaaponce.com

Meditasi tentang Ruang, Material, dan Kekosongan

Potongan kain dengan pola garis-garis yang seolah membentuk denah bangunan menghiasi sebuah kanvas berukuran 60x44 cm. Pada bagian bawah terdapat pola, beberapa dengan warna sangat terang yakni kuning, merah jambu, dan oranye. Pemadangan tersbeut tampak terlihat pada lukisan berjudul “Sometimes I Treat Your Heart Better Than I Treat Mine” karya dari perupa perempuan bernama Ella Witj dipajang pada pameran “Puisi, Meditasi, dan Kesementaraan” di Dialogue Art Space, Kemang, Jakarta Selatan.

Kurator R. E. Hartanto mengatakan Ella Wijt merupakan seniman yang juga menyukai aktivitas membaca dan menulis puisi. Pekerti itu dia bawa saat melukis. Lukisan “Sometimes I Treat Your Heart Better Than I Treat Mine” adalah puisi rupa yang dirangkai dari benda-benda kecil yang ada di sekitarnya.

“Karya Ella disebut puisi rupa karena cara dia berpikir mengenai karyanya dan narasi dia dalam membuat karya mirip seperti penyair, dia menyusun bukan dengan media kosa kata melainkan kosa rupa. Ella seperti mau mengatakan sesuatu tapi kita tidak bisa nagngkap juga maksudnya apa, sama dengan puisi yang tak bisa dijelaskan maknanya,” katanya.

Ella membuat kolase yang dipadukan dengan lukisan dalam sebuah kanvas. Konstruksi utama karya-karya Ella adalah kain-kain bekas dan kayu-kayu tak terpakai yang didaur ulang. Dia memanfaatkan kain mentah yang tidak diberi ground dan prime lazimnya kanvas lukis sehingga menunjukkan warna dan tekstur aslinya.

Ella memotong berbagai jenis kain belacu dan linen lalu menjahitnya menjadi satu kain utuh sehingga bisa direntang di atas kanvas. Dekonstruksi dan rekonstruksi ini menghasilkan petak-petak kain berbeda warna dan tekstur, seperti denah lahan yang dilihat dari udara. Ella kemudian melukis, menjahit, dan menempelkan berbagai macam obyek di atasnya. Semua obyek itu didapat dari rumah, studio, dan tanah lapang tempatnya tinggal dan bekerja untuk menghormati dan menghargai berbagai material yang ada di sekitarnya.

“Saya ingin menunjukkan sebuah nilai melalui karya-karya lukisan ini, yaitu bagaimana cara kita sebagai manusia memberi penghargaan dan penghormatan terhadap material dan barang barang yang ada di sekitar dan sering lihat kita sehari-hari, seberharga apa barang-barang yang kita lihat sehari-hari, ini tentang menghargai benda,” ujarnya.

Selain karya Ella Witj, pameran “Puisi, Meditasi, dan Kesementaraan” juga menghadirkan lukisan “Distorted POV III” karya Bunga Yuridespita, seorang arsitek yang berkiprah sebagai perupa. Latar belakang tersebut membuatnya memiliki perhatian yang spesifik terhadap ruang. Bunga terbiasa mengobservasi ruang secara berjarak.

“Pada karya Distorted POV III ini saya punya menggambarkan visualisasi dari sudut pandang burung itu kalau kita bisa terjemahkan seperti kalau kita naik pesawat terus liat ke bawah dari sudut pandang burung kemudian dari runag ruang itu yang saya ambil adalah ruang-ruang yang punya makna saat masa kecil dan keseharian,” ujar Bunga.

Bunga juga tertarik pada refleksi yang memanfaatkan cermin. Namun tidak seperti kekaryaan sebelumnya yang berbidang datar, kali ini kita bisa melihat ilusi trimatra dalam karya-karyanya. Kini bidang bukan sekadar petak-petak berwarna, tapi disusun menjadi blok bangunan yang pejal dan memiliki massa, mirip seperti blok Lego yang disusun dalam konstruksi tertentu.

Melalui penggunaan cermin, Bunga menemukan bentuk yang berulang secara terbalik dan vantage point menentukan bentuk yang akan terlihat. Praktik inilah yang membuatnya menyusun bidang menjadi blok bangunan yang lir trimatra, tapi mengalami distorsi karena isometri.

“Saya bermain dengan cermin untuk mendapat sebuah refleksi atau cerminan yang bersifat distorsi jadi cermin itu sebagai tools untuk melihat beberapa bentuk dan kalau misalnya kita relasikan ke seharian kita, sebenarnya itu sama seperti cara pandang manusia melihat akan sesuatu hal,” katanya.

Komposisi dalam karya Bunga kali ini diisi ruang kosong dan obyeknya berdiri monolitik. Ia menggunakan cat akrilik bertekstur supaya ruang negatif yang kosong itu terlihat seperti tembok. Pada suatu titik, Bunga menggunakan warna-warna abu-abu sejalan dengan praktik yoga dan meditasi yang ia lakukan, atau sekat dan partisi yang lazim ditemukan dalam gambar kerja arsitektur.

Selain Ella Witj dan Bunga Yuridespita, terdapat lukisan berjudul “Standing Beside” karya dari Ponto Sindy. Dalam karyanya kali ini Sindy melihat dan mengobservasi pohon sebagai formasi dan memperhatikan ruang kosong di antaranya. Ia menyadari bahwa ruang kosong sama pentingnya dengan formasi pepohonan itu sendiri.

Dalam kekaryaan tersebut ia seperti mengupas kulit pohon, terfokus pada teksturnya, lalu mengisi seluruh bidang kanvas. Tanpa ruang kosong tidak ada formasi. Pepohonan sekilas nampak statis, namun mereka hidup, bergerak, dan tumbuh dalam proses yang tidak bisa diikuti mata. Sindy juga melihat keterikatan antara pohon yang satu dengan yang lain. Yang satu tumbuh yang lain tumbuh; yang satu sakit yang lain sakit; yang satu mati yang lain mati. Ini serupa dengan kondisi sosial manusia, dukungan satu sama lain sebagai dibutuhkan untuk bisa mencapai kehidupan yang lebih harmoni.

“Lewat karya ini saya ingin menyampaikan sebagai manusia kita harus saling mendukung dalam kondisi yang tidak mudah seperti pandemi lalu. Jika mementingkan ego dan jalan sendiri sendiri, itu justru akan membuat kita rapuh, seperti pohon, kita juga saling terkait satu sama lain,” ujarnya.

Secara keseluruhan, karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini menggunakan ruang sebagai cermin untuk melihat kondisi manusia, baik diri sendiri, orang terdekat, maupun orang lain secara luas. Ella, Bunga, dan Sindy menafsirkan gagasan artistik mereka tentang ruang dan kekosongan menjadi puisi, meditasi, dan kesementaraan. (M-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat