visitaaponce.com

Minim Dilirik Investor, RI Hapus Rencana Pengakhiran Operasional PLTU 5 GW

Minim Dilirik Investor, RI Hapus Rencana Pengakhiran Operasional PLTU 5 GW
Ilustrasi Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU Batu Bara(MI/Ramdani)

DIREKTUR eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan dalam dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif alias comprehensive investment and policy plan (CIPP) program Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia menghapus rencana pengakhiran operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan total kapasitas lima gigawatt (GW).

Ia menyebut penghapusan rencana program dari JETP itu karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari sponsor negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG).

Kemitraan JETP merupakan inisiatif pendanaan transisi energi senilai lebih dari US$20 miliar atau setara Rp300 triliun lebih yang disepakati antara Indonesia dan IPG di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022.

Baca juga : AS Kucurkan US$20 Miliar untuk Pensiunkan PLTU RI

IPG terdiri atas pemerintah Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia dan Inggris Raya.

“Dihapuskannya rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batu bara sebelum 2030 karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan," ujar Fabby dalam keterangan resminya, Kamis (2/11).

Dalam dokumen CIPP yang sudah bisa diakses ke masyarakat melalui jetp-id.org, pada bagian atau chapter 7 mengenai pembiayaan JETP pada rincian pendanaan IPG, terlihat mayoritas negara IPG fokus pada rencana pembiayaan proyek energi terbarukan. Hanya Jerman yang menempatkan fokus investasi area untuk pemensiunan PLTU Indonesia.

Baca juga : Rencana Revisi Taksonomi Hijau Indonesia, Kemunduran dalam Transisi Energi Bersih

Dalam dokumen CIPP disebutkan dua pembangkit fosil yakni PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu diajukan menjadi proyek percontohan program JETP.

Dengan minimnya rencana investasi untuk pengakhiran operasional PLTU batu bara di Tanah Air, Fabby mendorong pemerintah Indonesia untuk terus melakukan dialog lanjutan dengan IPG guna mengeksplorasi skema pembiayaan blended finance atau pendanaan campuran dengan skema matching fund atau dana padanan.

Berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai target puncak emisi sebesar 290 juta ton karbon dioksida, perlu mengakhiri 8,6 GW PLTU di jaringan listrik PLN pada tahun 2030.

Baca juga : IESR: Program Pensiun PLTU Perlu Dikaji Secara Holistik

"Pendanaan pensiun dini PLTU bisa berasal dari tambahan dana selain dari komitmen IPG atau dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)," terangnya.

Dihubungi terpisah, ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan alasan utama para investor tidak menaruh perhatian besar terhadap investasi pengakhiran operasional PLTU batu bara karena dianggap tidak bisa balik modal secara besar.

"Negara maju lebih suka memberikan pendanaan ke proyek energi terbarukan karena dianggap lebih menguntungkan dibanding membeli aset PLTU batu bara yang nilainya terus menurun," imbuhnya.

Baca juga : Daerah Perlu Dilibatkan dalam Program Just Energy Transition Partnership

Bhima menuding negara-negara maju menginginkan pemerintah Indonesia menggunakan APBN untuk menutup PLTU batu bara milik PLN, ketimbang keluar dari kantong Amerika Serikat cs.

"Saya juga khawatir para donor dibalik pendanaan JETP sebenarnya ingin Indonesia tetap menggunakan PLTU batu bara dalam rangka menyuplai mineral kritis dengan tujuan ekspor," ucapnya.

Selain itu, Bhima menilai dalam dokumen CIPP menunjukkan Indonesia memiliki daya tawar yang lemah dalam negosiasi terkait porsi hibah dibandingkan total pinjaman ke negara maju.

Baca juga : Survei Celios: Mayoritas Masyarakat Formal Setuju Penutupan PLTU Batu Bara

Menurutnya, hampir tidak ditemukan alternatif pembiayaan yang berpihak pada negara berkembang dan membantu meringankan beban fiskal dalam masa mendatang.

Pejabat pemerintah Indonesia yang terlibat dalam penetapan dokumen CIPP terkesan tidak puas dengan keputusan akhir perencanaan program JETP tersebut karena terbentur dengan bunga pinjaman dari tiap proyek pendanaan yang diberikan.

Terpisah, Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra menuturkan JETP merupakan salah satu inisiatif penting dalam upaya transisi energi nasional. Sekretariat JETP Indonesia dibentuk dan mulai beroperasi pada April 2023. Salah satu tugasnya adalah melakukan koordinasi dalam upaya penyusunan dokumen CIPP secara kolaboratif antara pemerintah Indonesia dan IPG

Baca juga : Pemerintah Mau Pensiunkan PLTU Batu Bara, Ini Jawaban Bos Adaro Energy

"Dokumen CIPP JETP merupakan living document. Artinya, dokumen ini akan diperbaharui terus setiap tahunnya agar dapat mencerminkan perkembangan ekonomi global dan prioritas pembangunan dalam negeri," ujarnya dalam keterangan resmi. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat