visitaaponce.com

Hak Cuti Suami Saat Istri Melahirkan akan Pengaruhi Kesejahteraan Keluarga

Hak Cuti Suami Saat Istri Melahirkan akan Pengaruhi Kesejahteraan Keluarga
Ilustrasi MI(MI/Duta)

WACANA pemberian program hak cuti pendampingan bagi suami yang istrinya melahirkan atau keguguran, menjadi salah satu topik bahasan yang mengemuka pada debat capres terakhir dan menjadi perbincangan publik. Hak cuti tersebut merupakan salah satu program yang sampaikan oleh calon presiden nomor urut 01 Anies Baswedan.

Wacana itu pun masih dianggap tabu oleh sebagian warganet khususnya dari kaum laki-laki. Tak hanya itu, cuti melahirkan bagi suami juga masih terus dicarikan titik temu yang terbaik dan solutif dari gagasan yang muncul dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).

Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya mengatakan bahwa kehadiran RUU KIA yang diinisiasi DPR tersebut telah membawa angin segar bagi keluarga dan memiliki peran sangat penting untuk memberikan manfaat bagi keluarga menjelang dan pasca kelahiran sang buah hati.

Baca juga : Anies Baswedan Berjanji akan Membereskan Ketidakadilan yang Mengakar

“Oleh sebab itu kesadaran akan hal itu diangkat dalam usulan RUU Kesejahteraan Ibu dan anak. Ide kebijakan cuti menemani kelahiran didasarkan atas praktik lapangan, di mana banyak pekerja yang terpaksa harus meninggalkan masa emas kelahiran anak-anak,” ujar Willy saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta pada Sabtu (10/2).

Misalnya dalam pasal 6 ayat (1) RUU KIA menyatakan bahwa, untuk menjamin pemenuhan hak ibu selama melahirkan, suami berhak mendapatkan cuti pendampingan melahirkan paling lama 40 hari dan pendampingan keguguran paling lama tujuh hari.

Menurut Willy, berbagai kebijakan yang ada dalam RUU KIA tak hanya berdampak pada kesejahteraan keluarga, jika cuti bagi suami tersebut diterapkan, maka hal tersebut akan berdampak pada keberlangsungan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di masa depan.

Baca juga : Kesejahteraan Guru dan Dosen Kunci Kualitas Pendidikan Anak Bangsa

“Padahal masa kelahiran adalah masa emas bagi anak dan masa kritis bagi perempuan, sehingga dibutuhkan kerjasama dan kebersamaan. Masa emas pertumbuhan anak tidak boleh kita lewatkan jika kita serius mau membangun SDM indonesia masa depan,” jelas Willy.

Willy menjelaskan bahwa isi RUU KIA yang akan lebih berfokus pada 1.000 hari pertama bagi tumbuh kembang anak ini telah diusulkan oleh Badan Legislasi DPR RI sejak 2020-2021 hingga telah selesai pada proses harmonisasi. Diharapkan RUU KIA akan segera menjadi usulan DPR untuk segera disahkan.

“Sejak 2022, RUU ini ditangani oleh komisi 8, kemudian pada akhir 2023 sudah disinkronisasi. Kita berharap dalam waktu dekat, sudah akan bulat jadi usulan DPR sehingga tidak butuh waktu lama untuk pembahasannya,” jelasnya.

Baca juga : Cak Imin Pastikan Pengembangan Pesantren bakal Jadi Prioritas

Willy menegaskan RUU KIA begitu penting karena saat ini sudah seharusnya kesadaran para ayah terbangun dan semakin tinggi untuk turut serta dalam tugas pengasuhan anak. Dikatakan bahwa DPR RI telah melakukan audiensi pertemuan dengan berbagai stakeholder seperti aktivis, pengusaha, para pekerja, akademisi untuk menguatkan substansi RUU KIA.

“Kehendak politik pimpinan DPR saya kira juga akan sejalan dan mendukung RUU ini karena nyata dibutuhkan masyarakat. Tetapi saat ini DPR sedang reses, semoga pembukaan sidang kedepan kita sudah bisa memberi kabar bahagia RUU KIA untuk masyarakat,” jelasnya.

 

Baca juga : Warga Bantul Titip Pesan Perubahan ke Anies Baswedan

Dibutuhkan Peran Korporasi

Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawa mengatakan wacana cuti tersebut merupakan bagian dari pemberian hak cuti dalam rangka melaksanakan kewajiban seorang suami yang telah menjadi ayah untuk mendampingi istrinya pasca melahirkan atau jika terjadi keguguran.

“Isu yang ada dalam RUU KIA khususnya terkait hak cuti melahirkan bagi suami merupakan kebijakan yang progresif dan harus mendapat perhatian berbagai pihak agar dapat menciptakan peraturan yang komprehensif sebagai wujud kehadiran negara dalam menjamin kehidupan yang sejahtera bagi setiap warganya, termasuk ibu dan anak,” jelasnya.

Salah satu praktik dari pemberian cuti melahirkan bagi perempuan maupun cuti pendampingan bagi laki-laki, salah satunya adalah bisa saja melalui kebijakan bekerja dari rumah (work from home) sesuai kesepakatan dengan atasan setelah dilakukannya cuti selama 3 bulan oleh perusahaan tempat bekerja.

Baca juga : Wacana Cuti 40 Hari Bagi Suami Dinilai Dorong Produktivitas dan Kurangi Stres Karyawan

Senada, Komnas Perempuan juga turut mendukung RUU KIA disahkan menjadi undang-undang. Sebab, hal tersebut memiliki kaitan yang erat dengan upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan baik di ranah privat maupun publik.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah berpandangan, RUU KIA sesuai pemenuhan dan perlindungan hak maternitas yang telah dijamin konstitusi yaitu UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28 terkait hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, salah satu tujuannya adalah untuk melindungi kehamilan dan mengatur hak atas jaminan sosial di antaranya adalah hak atas masa cuti berbayar.

“Saat RUU KIA diberlakukan, maka harus ada kepatuhan aturan dari pihak korporasi sehingga penambulan cuti oleh suami tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karirnya di masa depan. Selain itu agar kondisi keuangan keluarga tetap berjalan, pembayaran gaji yang harus dilakukan secara penuh,” tuturnya.

Baca juga : Anies Baswedan Janji Berikan Cuti Suami 40 Hari saat Istri Melahirkan

Terpisah, aktivis perempuan dan anak sekaligus ketua umum Sarinah Institut, Eva Sundari mengatakan bahwa kebijakan cuti pengandamingan melahirkan bagi para suami memang masih terkesan baru untuk masyarakat Indonesia yang belum dewasa dalam memandang gender, sehingga masih banyak anggapan tabu yang justru mengolok aturan tersebut.

Namun, dia juga mengingatkan agar semua pihak juga harus melihat realita bisnis dan perkembangan mengenai kesetaraan gender di Indonesia, yang dinilainya belum sedewasa di negara-negara maju.

“Sebagian besar masyarakat kita memang masih patriarki dan feodal yang melihat perempuan semata-mata hanya mampu mengurus rumah tangga sehingga ada multiple burden bagi perempuan. Padahal, fenomena baby blues yang 53% merupakan fakta tak terbantahkan, sehingga kebijakan cuti itu salah satu terobosan untuk mengatasi mental block masyarakat patriarchal,” ujarnya.

Baca juga : Anies-Muhaimin Janji Beri Rp10 Juta untuk Guru ASN yang akan Pensiun

Lebih lanjut, Eva mengatakan bahwa banyak negara maju yang menerapkan kebijakan cuti bagi suami tersebut dan terbukti telah meningkatkan kebahagiaan serta kesejahteraan keluarga.

“Riset di Jepang ternyata membuktikan bahwa pemenuhan kebahagiaan SDM dapat menambah produktivitas kerja bagi seorang ayah dan ibu. Kebijakan cuti juga ini sudah dilakukan di negara-negara skandinavia (welfare states) termasuk New Zealand. Keluarga yang ideal adalah saat ayah dan ibu bersama mengurus anak,” pungkasnya. (Dev/Z-7)

Baca juga : Ikut Kampanye Capres Nomor Urut 1, Mutiara Baswedan Serap Aspirasi Pengrajin Batik

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat