visitaaponce.com

Pembunuhan Perempuan Terus Terjadi, Mengapa

Pembunuhan Perempuan Terus Terjadi, Mengapa?
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan(Dok.MI)

KOMISI Nasional atau Komnas Perempuan menyampaikan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada pembunuhan merupakan bagian dari femisida. Berdasarkan data PBB, 80% dari pembunuhan berencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekatnya.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) perempuan, Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa kasus femisida terus terjadi karena adanya perlakuan, cara pandang dan dorongan terhadap perempuan yang masih superioritas, agresi maupun misogini dan ketimpangan relasi kuasa serta kepuasan sadistik yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan.

“Meskipun kasus femisida meningkat di Indonesia dari segi jumlah maupun bentuknya, tapi istilah femicide (femicide) tidak dikenal dengan baik di Indonesia. Hal ini menyebabkan kasus penghilangan nyawa berbasis gender terhadap perempuan belum mendapat perhatian serius dan masih dipandang sebagai tindakan kriminal pembunuhan biasa,” jelas Aminah kepada Media Indonesia pada Senin (6/5).

Baca juga : Pemerintah Abai, Pembunuhan Perempuan Meningkat

Aminah mengatakan salah satu kriteria dalam kasus femisida adalah adanya perlakuan terhadap jasad perempuan yang tidak wajar seperti dimutilasi, perlakuan yang merendahkan tubuh, menunjukkan penganiayaan yang berlebihan, dan dibuang di ruang publik.

“Sebelum nyawa melayang dalam kasus femisida, perempuan akan mengalami kekerasan fisik mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, hingga tubuhnya diperlakukan secara tak manusiawi, dibunuh hingga dimulatisi. Ini berlaku dalam kasus di mana tubuh korban perempuan yang tidak tertutup atau terbuka berpakaian sebagian atau berpakaian lengkap diangkut dari TKP dan sengaja diekspos di area terbuka,” jelasnya.

Beberapa tahun terakhir, Komnas Perempuan memantau kasus terkait femisida dari pemberitaan di media daring. Terbaru, pantauan Komnas Perempuan pada periode November 2022-Oktober 2023 menemukan 159 pemberitaan terindikasi kuat femisida.

Baca juga : Kekerasan Perempuan di Ranah Negara Naik Tajam

Aminah memaparkan data berita selama periode 2023 terhadap femisida, terdapat 10 perlakuan terhadap jasad yang merendahkan tubuh dan martabat korban, seperti diperkosa, dilucuti pakaiannya, dimutilasi, tubuh dan alat kelamin dirusak, dikemas dalam karung/box/alat lainnya dan dibuang ke tempat di luar TKP seperti di sungai, got/parit, area persawahan atau di pinggir jalan.

“Dari 159 pemberitaan dengan indikasi femisida yang cukup kuat, terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat 5 provinsi tertinggi dalam pemberitaan dengan indikasi femisida, yaitu Jawa Timur dengan 28 kasus, Jawa Barat dengan 24 kasus, Jawa Tengah dengan 18 kasus, Sumatera Utara dengan 10 kasus dan Riau dengan 8 kasus,” tuturnya.

Sementara itu, menurut jenisnya dari 159 pemberitaan terindikasi femisida, terdapat 162 korban dengan jenis femisida tertinggi ada pada jenis femisida intim dan bunuh diri akibat dugaan KBG, maka korban terbesar adalah Isteri (72 orang), disusul pacar (33 orang) dan mantan pacar (9 orang). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa relasi pelaku dengan korban sebagian besar masih berada dalam ranah relasi personal.

Baca juga : Ketua Dewan Pers Nilai Perlu Perlindungan Hukum pada Wartawan Perempuan

Selain itu pada 2023, Komnas Perempuan mencatat dari 136 pemberitaan bunuh diri, terdapat 12 kasus dengan indikasi perempuan yang bersangkutan adalah korban KBG, yaitu 9 kasus kekerasan terhadap istri, 1 kasus korban kehamilan yang tidak diinginkan dan 2 korban dari penyebaran konten intim non consensual.

Sedangkan secara data statistik kriminal 2022 pada tiga provinsi dengan jumlah desa/kelurahan yang pernah terjadi kejadian kejahatan pembunuhan terbesar secara berturut-turut adalah Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.

“Terdapat pola yang sama, yakni sadisme berlapis terhadap perempuan dengan dianiaya, diperkosa, dibunuh dan ditelanjangi. Dari perspektif kekerasan berbasis gender, penelanjangan korban yang telah menjadi mayat menunjukkan tindak pelucutan martabat korban,” jelas Aminah.

Baca juga : Sunat Perempuan Adalah Diskriminasi dan Kekerasan

Berbicara regulasi, penghilangan nyawa di Indonesia telah diatur tersebar dalam Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan juga di KUHP yaitu Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Namun motif, modus dan kekerasan berbasis gender sebelum atau yang menyertainya tidak menjadi faktor pemberat hukuman.

Melihat maraknya kasus femisida, Aminah mengatakan pihaknya terus mendorong berbagai lembaga khususnya para penegak hukum untuk menegakkan keadilan bagi korban, mengingatkan kekerasan berbasis gender menjadi hambatan kritis untuk mencapai kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki.

“Mencermati terus meningkatnya femisida, Komnas Perempuan merekomendasikan agar penegak hukum melakukan pendokumentasian secara nasional tentang pembunuhan perempuan agar terpetakan penyebab, pola dan pelaku femisida di Indonesia dan menjadi acuan dalam menyusun langkah-langkah sistemik untuk penanganan dan pencegahannya serta menjamin keamanan pelapor dan perempuan yang terindikasi terancam nyawanya,” pungkasnya. (Dev/Z-7)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat