visitaaponce.com

BNPB Telah Prediksi Dampak El Nino dari Akhir 2022

BNPB Telah Prediksi Dampak El Nino dari Akhir 2022
Kebakatan hutan dan lahan di Sumatera yang semakin parah akibat dampak el nino.(MI/Dwi Apriani)

BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan pihaknya sudah memprediksi dampak dari El Nino sejak akhir tahun lalu.

"Artinya prediksi akan dampak El Nino di 2023 bahkan sudah kita terima dari BMKG dari November 2022 lalu, sehingga pada Februari sudah ada rapat koordinasi nasional," ucap Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, kepada Media Indonesia pada Kamis (24/8).

Ketika berbicara kekeringan akibat dari El Nino, secara otomatis ada dua hal yang menjadi pemicu bencana, pertama suhu permukaan bumi lebih panas karena hujannya jarang yang membuat kering. Lalu yang kedua, karena suhu bumi lebih panas yang menyebabkan persediaan air tanah tergerus.

"Itu yang menyebabkan bencana kekeringan dan kesulitan air bersih yang sekarang dialami sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Tengah dan kabupaten/kota di Jawa Timur," ujarnya.

Baca juga: Ekonom: Hadapi El Nino, Inflasi Harus Dijaga Konsisten Rendah

BNPB juga telah melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) setidaknya 108 kali sortie penerbangan yang setiap penerbangan itu membawa paling tidak membawa 800 kg NaCl yang akan ditabur.

"Karena ini yang sifatnya mitigasi disitu, kita harus menyediakan airnya dulu. Karena begitu sudah kemarau, awan hujannya sudah tidak ada, tidak bisa kita TMC," paparnya.

Sejak Januari-Mei, BNPB telah melakukan TMC dengan tujuan mengisi embung, danau, serta waduk agar daerah-daerah mempunyai cadangan air yang lebih untuk sepanjang musim kemarau. Akan tetapi di sisi lain, musim kemarau saat ini juga masih belum bisa diprediksi kapan akan berakhir.

Baca juga: Hadapi El Nino, Ekonom Sarankan Petani Gunakan Asuransi Pertanian

"Kemarin BMKG bilang puncak kemarau Agustus-September, sekarang mundur September-Oktober, tapi yang kita pegang sekarang sampai Oktober, karena biasanya di November Desember kita ada peralihan musim hujan," ungkap dia.

Abdul menyebut dampak dari kemarau tahun ini terutama di lahan gambut adalah bencana asap yang disebabkan kebakaran lahan gambut, sedangkan di lahan mineral dampaknya adalah kekeringan dan kebakaran lahan. Berbeda dengan di gambut, di lahan mineral apabila terjadi kebakaran menurut Abdul akan lebih mudah dipadamkan.

"Begitu objek terbakarnya habis kalaupun itu tidak dipadamkan apinya mati sendiri, tapi yang kita khawatirkan apabila objeknya berada di dekat pemukiman, ini yang sifatnya bisa berdampak secara langsung apabila menghantam pemukiman karena bisa ada korban jiwa," jelas Abdul.

Khusus untuk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dalam 1 bulan terakhir ini periode hari tanpa hujannya sedikit lebih lama berada di kisaran 6-10 hari baru mengalami hujan.

"Ini yang sebenarnya kita sudah antisipasi dari Maret-Juni lalu, kita di periode itu hujan masih ada, awan masih tersedia sehingga kita masih bisa melakukan TMC. TMC inikan sebenarnya kalau awan hujannya ada dan kalau kita butuh, kita hujani lebih cepat kalau kita butuh air," jelasnya.

Tapi, untuk sementara khusus untuk kekeringan di Jawa Tengah dan Jawa Timur langkah antisipasi yang bisa dilakukan saat ini adalah tindakan kuratif.

"Artinya butuhnya apa, butuhnya air maka kita akan distribusikan air. BNPB sudah mendukung truk-truk tangki supaya pendistribusian air ke masyarakat lebih cepat," terang dia.

Fenomena Madden-Julian Oscillation

Pada minggu pertama dan kedua Juli kemarin, Indonesia sempat dilewati oleh fenomena Madden-Julian Oscillation. Fenomena ini membawa rangkaian awan besar dari sebelah timur Afrika menyeberangi Samudera Hindia, sampai ke barat Sumatera dan dan pada akhirnya melewati Indonesia pada pertengahan Juli.

Walaupun fenomena Madden-Julian Oscillation ini membawa cuaca yang menyebabkan hujan, akan tetapi dampak setelah fenomena ini melewati Indonesia menurut Abdul adalah kekeringan ekstrem yang saat ini dialami.

Berbicara tentang jangka panjang karena efek dari El Nino, menurutnya, mau tidak mau seluruh elemen yang ada di Indonesia harus memperbaiki ekosistem.

"Kalau serapan air tidak cukup vegetasi untuk mengikat air, maka secara otomatis serapan air hujannya akan turun sehingga tidak menyimpan di tanahnya yang berdampak pada sumur masyarakat banyak yang mengalami kekeringan," tandasnya.

(Z-9)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat