visitaaponce.com

Pernyataan Jokowi Terkait Pemilu Dinilai Bias dan Kontradiktif

Pernyataan Jokowi Terkait Pemilu Dinilai Bias dan Kontradiktif
Presiden Jokowi meresmikan PLTS Terapung Cirata.(Youtube Setpres )

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo belakangan ini terkait Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai bias dan kontradiktif. Saat memberikan sambutan di acara HUT Partai Golkar ke-59, Senin (6/11), Jokowi menyinggung terlalu banyak drama korea dan sinetron jelang Pemilu 2024 dari masing-masing kubu.

Sementara itu, saat membuka Rapat Rapat Koordinasi Nasional Penyelenggara Pemilu bertajuk 'Mewujudkan Pemilu Berintegritas' yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (8/11), Presiden mengingatkan semua pihak untuk jangan mencoba-coba intervensi jalannya pemilu.

Komentar-komentar itu dilayangkan setelah putra sulung Jokowi sekaligus Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, didaftarkan sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Gibran yang masih berusia 36 tahun itu dapat ikut kontestasi Pemilu Presiden 2024 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumya diketuai Anwar Usman, adik ipar Jokowi, mengubah norma 40 tahun sebagai syarat usia minimal capres-cawapres.

Baca juga: Jokowi: Demokrasi tidak Saling Pecah-Belah, Akhir-Akhir Ini Terlalu Banyak Drama

Peneliti pada Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia Wawan Kurniawan berpendapat, pernyataan Jokowi tersebut menunjukkan adanya authority bias atau bias otoritas, yakni upaya seseorang menggunakan otoritasnya untuk mendukung apa yang ingin dituju atau didapatkan.

Menurut Wawan, rentetan pencalonan Gibran lewat 'karpet merah' MK serta kecenderungan Jokowi mendukung Prabowo adalah bagian dari yang ingin dicapai Jokowi untuk melanjutkan kekuasaan. "Jokowi punya power untuk menyampaikan pendapat itu, meskipun di satu sisi itu adalah sesuatu yang kontradiktif," terangnya kepada Media Indonesia, Kamis (9/11).

Baca juga: Jokowi Enggan Komentari Pemberhentian Iparnya Anwar Usman dari Jabatan Ketua MK

Wawan berpendapat, peringatan Jokowi soal intervensi pemilu dapat dimaknai sebagai usaha Kepala Negara untuk menetralkan situasi. Namun, masyarakat yang menerima pernyataan itu berasal dari pendukung dan kalangan yang tidak kritis. Di sisi lain, masyarakat yang sudah kritis dalam memaknai pergerakan Jokowi akan membacanya dengan berbeda.

"Tentu ada kecurigaan-kecurigaan bahwa ini adalah desain tertentu atau hanya strategi politik atau semacam statemen politik, itu bisa terbaca," tandas Wawan.

 

Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Jokowi

Terpisah, dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada dan Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies Nyarwi Ahmad mengatakan publik tidak hanya melihat apa yang disampaikan, tapi juga menafsirkan yang dilakukan Jokowi dan keluarganya. Menurutnya, apa yang disampaikan Jokowi seringkali tindak sesuai dengan yang dilakukan.

Bagi Nyarwi, yang lebih penting untuk disoroti ketimbang intervensi pemilu adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya langsung maupun tidak langsung dari para aktor politik di jantung kekuasaan Jokowi.

"Mulai dari para menteri, wantimpres, termasuk Presiden Jokowi, yang menjadi ayah dari Gibran, bakal cawapres Prabowo," pungkasnya. (Tri/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat