Daulat Rakyat atas Isu Pemakzulan Presiden
![Daulat Rakyat atas Isu Pemakzulan Presiden](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/01/db95fad7b9e9a8cb60f67a190b391a3b.png)
DINAMIKA dan gejolak perdebatan di seputar isu pemakzulan presiden yang diprakarsai Petisi 100 dan Poros Transisi Nasional akhir-akhir ini intensitasnya semakin meningkat dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak, tak terkecuali para pakar hukum tata negara. Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin, misalnya, menyatakan bahwa pemakzulan presiden sah-sah saja dan bisa saja tergantung pada sisi pelanggaran konstitusi yang dilakukan.
Namun mekanisme yang tersedia saat ini cukup panjang dan sangat rumit. Artinya bahwa ada kendala yang dihadapi secara teknis terkait mekanisme pemakzulan presiden. Pakar hukum lain menyebutkan bahwa gerakan yang ingin memakzulkan Jokowi itu inkonstitusional karena tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 45. Bahkan ada pakar hukum yang sangat tersohor secara tegas menyebutkan bahwa gerakan pemakzulan presiden ialah bentuk tindakan makar.
"Pernyataan semacam ini tentu menyesatkan logika berpikir publik, sebab mekanisme pemakzulan presiden telah dirumuskan secara jelas dalam UUD 1945," ujar Ismail Rumadan, pengajar pada Fakuktas Hukum Universitas Nasional Jakarta, dalam keterangan tertulis, Kamis (25/1). Artinya, patut dipertanyakan pernyataan tersebut secara tidak langsung menuduh bahwa konstitusi mengatur norma yang makar? Ini karena konstitusi secara jelas mengatur mekanisme pemakzukan presiden yang disampaikan oleh setiap warga negara sebagai bagian dari hak kostitusionalnya menyampaikan aspirasi terkait ada dugaan pelanggaran presiden.
Baca juga: Rocky Gerung: Aksi Tolak Dinasti Politik di 35 Provinsi Tuntutan Menuju Impeachment Jokowi
Permasalahannya di sini, lanjut Ismail, ialah harus dibuktikan seberapa besar dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo sehingga memiliki daya rusak terhadap negara. Menanggapi pernyataan para pakar hukum tersebut di atas, pemahaman sederhana yang dapat disampaikan sebagai orang yang belajar hukum bahwa penyataan ini menunjukan ada kondisi telah terjadi pemurtadan konstitusi. Soalnya, konstitusi telah dipaksa keluar dari tujuannya hanya karena mengikuti tafsir yang kabur dan kurang tepat dalam memahami konteks aspirasi warga negara yang menyuarakan pemakzulan presiden.
Menurut Ismail, isu pemakzulan presiden saat ini tidak bisa dipahami dalam pemahaman yang formalistik, karena mekanisme konstitusi yang tersedia secara formal tidak memungkinkan untuk diterapkan secara normal yang terlalu berbelit dan sangat rumit. Belum lagi instrumen dan kelembagaan negara yang tersedia secara formal tidak berfungsi lantaran tersandera dengan berbagai kepentingan politik pragmatis.
Dalam perspektif UUD 1945, proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden harus diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun sebelum proses pengajuan pemberhentian kepada MPR, terlebih dahulu DPR sebagai pihak yang punya kedudukan hukum (legal standing) harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun sebelum upaya tersebut dilakukan, DPR terlebih dahulu menggunakan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan presiden yang diduga melakukan pelanggaran dan melampui batas kewenangan.
Baca juga: Wacana Pemakzulan Presiden Jokowi Dinilai akan Berakhir Sia-sia
"DPR kemudian menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai pintu masuk membawa Presiden kepada MK. MK kemudian mengadili dan memutuskan dugaan pelanggaran presiden tersebut. Selanjutnya putusan MK diserahkan kepada MPR untuk menggelar sidang paripurna memutuskan pemakzulan presiden," ulas Ismail.
Namun, upaya pemakzulan sampai sekarang tidak mendapat tanggapan dari wakil rakyat untuk menguji secara faktual melalui penggunaan hak angket yang melekat. DPR malah mendiamkan dengan membiarkan dugaan pelanggaran presiden menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
"Secara substansial rakyatlah yang memiliki daulat atas negara ini. Sistem yang tersedia hanyalah alat untuk mewujudkan daulat rakyat. Di saat sistem sebagai alat tidak lagi berfungsi, sang pemilik daulat harus berteriak dengan suara lantang agar kedaulatan rakyat tidak dikhianati dan segera dikembalikan kepada pemilik daulat sesungguhnya, lantara pemegang amanah daulat rakyat telah salah arah, telah mangalami disorientasi dalam mengelola tujuan bernegara," tandasnya. (Z-2)
Terkini Lainnya
Jokowi: Serangan Siber ke Pusat Data Nasional Juga Terjadi di Negara Lain
Jokowi Resmikan Pabrik Cell Baterai Kendaraan Listrik Terbesar se-ASEAN
Bola Perppu Perampasan Ada di Tangan Presiden Jokowi
Harga Produk Alat Kesehatan Tinggi karena Industrinya Belum Mapan
Jokowi Perintahkan Menteri-menteri Atur Ulang Tarif Pungutan Batu Bara
Istana Proses Surat Undur Diri Firli Bahuri dari KPK
Komisi II DPR Jadwalkan Pemanggilan DKPP
Komisi II DPR: Jika KPU tak Konsultasi PKPU, Itu Melanggar Etika
Ketua KPU Terbukti Lakukan Asusila, Komisi II DPR RI: Sangat Buruk!
Komisi II DPR RI Hormati Keputusan DKPP yang Pecat Ketua KPU Hasyim Asy’ari
Komisi II DPR Tak Heran Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dipecat Akibat Kasus Asusila
Pemerintah dan DPR Setujui Pemberian PMN ke Sejumlah Lembaga dan BUMN
Perang Melawan Judi Online
Ujaran Kebencian Menggerus Erosi Budaya
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap