visitaaponce.com

Kedaulatan Rakyat di Bilik Suara, Lawan Perusak Demokrasi

Kedaulatan Rakyat di Bilik Suara, Lawan Perusak Demokrasi
Pasangan calon presiden nomor urut 2 Prabwo Subianto-Gibran Rakabuming Raka(AFP)

ETIKA semestinya menjadi pondasi dari seluruh sistem bernegara, termasuk sistem politik. Namun, nilai tersebut kini tercabik karena intervensi Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Direktur Eksekutif Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) Firman Manan mengatakan, people power, sebagai bentuk kedaulatan rakyat, bisa dibuktikan di bilik-bilik suara, pada hari pencoblosan. 

“Dalam konteks elektoral, cara yang efektif memang menggunakan hak pilih sesuai hati nurani, dengan pertimbangan rasional. Bukan karena iming-iming materi atau tekanan dan intimidasi," kata Firman saat dihubungi, Rabu (07/02). 

Baca juga : Survei: Elektabilitas Prabowo Turun Drastis Gara-Gara Putusan Mahkamah Keluarga

Rakyat memiliki peranan penting, suara, kedaulatan yang menentukan hidup bangsa ini ke depan. Gerakan keprihatinan yang disuarakan para pegiat demokrasi, akademisi, adalah sebuah tanda bahaya dan berharap masyarakat bisa menggunakan kekuatannya, hak pilihnya dengan bertanggung jawab. Namun dia menambahkan, satu elemen yaitu kerahasiaan yang perlu diperhatikan. 

“Hal penting adalah jaminan terhadap ballot secrecy, kerahasiaan pilihan pemilih. Apabila pemilih bisa diyakinkan bahwa pilihan mereka bersifat rahasia, tidak bisa diketahui siapapun atau kelompok manapun, terdapat potensi bahwa pemilih akan menentukan pilihan secara bebas,” tandas Firman. 

Sejak awal masa kampanye, masyarakat disuguhi gimik, bukan gagasan. “Karena model kampanye beberapa kandidat masih menggunakan gimik-gimik politik yang mengedepankan pencitraan politik,” sebut Firman. 

Baca juga : Gelombang Petisi Akademisi, Jokowi Diminta Minta Maaf Secara Terbuka

Padahal seharusnya para kandidat mengelaborasi isu-isu programatik yang substansial. 

“Sayangnya sebagian pemilih masih terpengaruh dengan pendekatan kampanye non-substansial seperti ini,” imbuh Firman yang juga menjabat sebagai Dosen Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran ini. 

Kemudian dengan gamblang, penguasa menggunakan kekuasaannya, uang negara untuk transaksi politik. 

Baca juga : Alumni UKI Tolak Paslon Pelanggar Etika

“Kampanye terselubung oleh pejabat-pejabat negara dengan menggunakan fasilitas negara, pemberian bantuan sosial yang sarat dengan indikasi pork barrel politics (pertukaran untuk kepentingan elektoral kandidat tertentu), plus adanya indikasi mobilisasi, tekanan, intimidasi terhadap pemilih,” jelas Firman. 

Kesadaran Etika

Pakar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati menilai etika menjadi pondasi dari seluruh sistem bernegara, termasuk sistem politik.

"Banyak yang percaya etika itu menjadi pondasi bagi sistem politik kita, termasuk di dalamnya sistem hukum ketatanegaraan. Regulasi di atasnya hanya bangunannya saja, termasuk UU, Putusan MK, Putusan DKPP," terangnya.

Baca juga : Debat Terakhir Pilpres 2024, Momen Capres Yakinkan Pemilih

Sehingga adalah hal yang aneh ketika pondasinya bermasalah namun bangunan di atasnya dinyatakan baik-baik saja. "Sehingga aneh kalau pondasinya bermasalah tetapi dinyatakan bangunannya tidak bermasalah. Itu kan sebenarnya tidak masuk akal," sambungnya.

Oleh sebab itu seluruh pemangku kepentingan dalam pemilu harus percaya terhadap etika yang menjadi landasan sistem hukum maupun politik. "Kita semua para pemangku kepentingan, dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, maupun pemilih tetap harus percaya bahwa bangunan hukum atau sistem politik kita secara umum harus didasarkan pada pondasi etika atau keadaban yang kuat," tandasnya.

Menurutnya, kesadaran etik itu juga yang akan menentukan hasil dari pemilu, utamanya pilpres. Hal itu dilandaskan pada pengkategorian pemilih yakni ideologis, pragmatis, dan rasional.

Baca juga : Mundurnya Mahfud dan Momentum Delegitimasi Jokowi

"Menurut saya akan sangat menentukan, dan kita akan melihat sejauh mana suara kalangan kampus bisa memengaruhi suara dari kelompok rasional," tegasnya.

Pemilih rasional bisa jadi yang akan menentukan siapa pemenang dan apakah pilpres satu putaran atau dua. Sedangkan pemilih ideologis, tidak banyak berubah karena kemungkinan besar sudah memiliki pilihan yang sulit berubah. 

Pemilih rasional sebagian juga sudah memiliki pilihan, meski sebagian bisa juga masih belum. Sedangkan pemilih pragmatis akan sangat bergantung pada praktek-praktek pembelian suara atau dukungan. (Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat