visitaaponce.com

Jangan Kagetan, Banyak Perbedaan Pendapat Ulama dalam Ibadah Ramadan

Jangan Kagetan, Banyak Perbedaan Pendapat Ulama dalam Ibadah Ramadan
Ilustrasi.(DOK MI.)

PERBEDAAN pendapat para ulama dalam Islam sejatinya bertebaran dalam berbagai bidang, terutama ibadah. Kali ini umat perlu tahu beragam pandangan ulama dalam menjalankan ibadah saat bulan suci Ramadan

Dengan mengetahui keberagaman pendapat para ulama itu diharapkan kita lebih dewasa menyikapi perbedaan dan saling menghormati satu sama lain. Apa sajakah perbedaan pendapat ulama khususnya terkait ibadah puasa? Berikut daftarnya.

Perbedaan awal Ramadan

Kita sudah terbiasa sejak dulu ada perbedaan penentuan awal Ramadan yang otomatis berimplikasi juga dengan akhir Ramadan dan awal Syawal untuk merayakan Idul Fitri. Di luar perbedaan oleh kelompok muslim yang kecil di Indonesia, setidaknya ada dua arus besar dalam penetapan awal Ramadan. Dua arus besar itu ialah Nahdlatul Ulama (NU) yang biasanya sama dengan sikap pemerintah dan Muhammadiyah. 

Perbedaan itu akibat NU menentukan awal Ramadan melalui metode rukyatul hilal atau melihat bulan secara langsung oleh mata. Syarat bulan dapat dilihat jika ketinggiannya di atas dua derajat. Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan lewat prinsip hisab wujudul hilal atau melakukan perhitungan tanpa perlu melihat langsung bulan. Artinya, meskipun ketinggian bulan kurang dari dua derajat, Muhammadiyah menetapkan bulan baru sudah muncul.

Bukan hanya di Indonesia, perbedaan itu pun berlaku di berbagai negara Islam. Untuk Ramadan saat ini, Saudi menetapkan 1 Ramadan pada Sabtu 2 April. Ini berarti sama dengan Muhammadiyah. Padahal Saudi menggunakan metode melihat bulan secara langsung. Pendapat Saudi diikuti negara lain seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain. Namun di Iran dan Irak, ulama syiah menetapkan 1 Ramadan pada Minggu 3 April.

Perbedaan rakaat tarawih

Satu lagi yang menjadi perdebatan kalangan awam yaitu perbedaan rakaat tarawih. Biasanya NU menerapkan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan Muhammadiyah 8 rakaat. Pada tarawih 20 rakaat, imam salat hanya membaca surat-surat pendek setelah Alfatihah. Pada tarawih delapan rakaat, imam salat membaca surat-surat panjang usai Alfatihah.

Sebenarnya perbedaan pendapat ulama itu memiliki dalil masing-masing. Pendapat ulama yang menetapkan tarawih 20 rakaat berdasarkan yang dilakukan sahabat Umar bin Khattab. Ini pun dijalankan hingga kini di Masjidil Haram di Mekah dan Nabawi di Madinah. Pendapat ulama yang menetapkan tarawih delapan rakaat berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw dari Aisyah terkait salat sunah di malam hari. Bahkan Imam Malik yang tinggal di Madinah kala itu berpendapat salat tarawih dilakukan hingga 36 rakaat. Mau melaksanakan salah satu pendapat itu boleh saja asal ikhlas. 

Perbedaan waktu niat puasa

Ada lagi perbedaan pendapat ulama yang tidak banyak diketahui masyarakat kita yang bermazhab Syafii terkait waktu membaca niat puasa Ramadan. Yang kita tahu, ulama mengajarkan kita membaca niat puasa setiap malam usai melaksanakan tarawih dan witir.  

Pendapat pertama itu diusung ulama salaf Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hambal, dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari, yaitu antara terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jika niat dilaksanakan di luar waktu tersebut, hukumnya tidak sah. Akibatnya, puasa pun tidak sah.

Mereka berpegangan pada hadis riwayat Hafshah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, tidak ada puasa baginya." (HR Baihaqi dan Daruquthni).

Baca juga: Ulama Salaf Berbeda Pendapat tentang Waktu Niat Puasa Ramadan

Namun pendapat kedua berasal dari Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan mulai terbenamnya matahari sampai pertengahan siang. Artinya, tidak wajib melakukan niat di malam hari. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala surat al-Baqarah ayat 187.

Bukan cuma itu. Ada perbedaan pendapat tentang membaca niat harus setiap malam atau bisa sekali saja di awal bulan. Kelompok pertama yang terdiri dari Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mewajibkan untuk memperbarui atau melakukan niat puasa setiap hari. Mereka berargumen bahwa hari-hari dalam Ramadan bersifat independen dan tidak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Batalnya satu hari puasa tidak berpengaruh pada batalnya hari yang lain. Karenanya, setiap akan memasuki hari baru diperlukan niat baru.

Kelompok kedua, kali ini yang berbeda sendiri ialah Imam Malik dan para pengikutnya. Bagi mereka, niat puasa Ramadan cukup dilakukan di malam hari pertama. Mereka beralasan puasa Ramadan wajib dilaksanakan secara terus menerus, sehingga hukumnya sama seperti satu ibadah. Satu ibadah hanya membutuhkan satu niat. (Muhammad Ramadhan al-Buthi, Muhadharat fil Fiqhil Muqaran, Damaskus: Darul Fikr, 1981, halaman 28-34)

Perbedaan doa buka puasa

Belakangan ini, umat suka berdebat doa berbuka puasa mana yang sesuai sunnah Rasul dan bukan. Doa buka puasa yang turun temurun diajarkan masyarakat dari dulu di Indonesia yaitu Allahumma laka shumtu dan seterus.

Doa berbuka puasa itu bersumber dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim sebagaimana keterangan Syekh M Khatib As-Syarbini berikut ini. "(Mereka yang berpuasa) dianjurkan setelah berbuka membaca, 'Allâhumma laka shumtu, wa ‘alâ rizqika afthartu.' Pasalnya, Rasulullah SAW mengucapkan doa ini yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim." (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Al-Iqna pada Hamisy Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1426-1427 H], juz II, halaman 385).

Baca juga: Ada Dua Doa Buka Puasa, Pilih yang Mana?

Namun, pendapat lain yang baru muncul belakangan mengusung doa yang baru. Pendapat ini umumnya diangkat ulama wahabi atau salafi di Indonesia yang bersumber dari ulama Saudi. Mereka berdasarkan hadits lengkap riwayat Abu Dawud berbunyi, "Kami mendapat riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Yahya, yaitu Abu Muhammad, kami mendapat riwayat dari Ali bin Hasan, kami mendapat riwayat dari Husein bin Waqid, kami mendapat riwayat dari Marwan, yaitu Bin Salim Al-Muqaffa‘, ia berkata bahwa aku melihat Ibnu Umar menggenggam jenggotnya lalu memangkas sisanya. Ia berkata, Rasulullah bila berbuka puasa membaca, 'Dzahabaz zhama'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru, insya Allah'," (HR Abu Dawud).

Perbedaan waktu imsak

Nah, yang baru yaitu perbedaan waktu imsak. Muhammadiyah menyusun jadwal imsakiah di seluruh Indonesia yang berbeda dengan Kementerian Agama sejak tahun lalu. Perbedaannya sekitar 7-8 menit. Jadwal waktu imsak dan otomatis waktu Subuh yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama lebih cepat ketimbang Muhammadiyah. Artinya, waktu Imsak dan Subuh dalam imsakiyah Muhammadiyah lebih lambat 7-8 menit dari waktu imsak dari Kemenag.

Perbedaan tersebut diakibatkan pada perbedaan dalam memilih kriteria ketinggian matahari dalam perhitungan masuk waktu salat Subuh. Jadi jangan kagetan ya kalau ada tetangga yang masih makan minum padahal masjid sudah mengumandangkan azan subuh.

Baca puasa: Niat Puasa Sebulan di Awal Ramadan atau tiap Malam?

Langkah terbaik dalam menyikapi keberagaman yang bukan prinsip itu seperti yang diusung pendiri bangsa yaitu Bhinneka Tunggal Ika atau meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ini berarti kita mesti bertoleransi terhadap segala perbedaan yang memang ada tanpa saling menghakimi atau mencela satu sama lain. Tidak masalah berbeda dalam hal-hal di atas karena yang penting kita menjalankan ibadah puasa. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat