visitaaponce.com

Monolog Mesin

Monolog Mesin
(METRO TV)

MESIN cetak yang tak tak berfungsi secara maksimal terpajang kaku di Gedung Percetakan Media Indonesia. Udara gerah di pengujung Oktober kian memberikan pesan bahwa kemarau belumlah berlalu.

Langit-langit tinggi dan lampu-lampu neon yang sebagiannya padam pun mengumbar kesan; ruangan itu seakan-akan sedang memasuki sebuah era, untuk dialihfungsikan sebagai sebuah "pusat kesenian pascakontemporer".

Sebuah perusahaan pers nasional harus beradaptasi dengan kerasnya zaman. Memapah diri dalam 'mesin waktu kebudayaan' dalam menghadapi peradaban dunia. Menjadikan sastra sebagai kekuatan bersama. 

Dalam sekejap mata, area percetakan pun disulap menjelma sebuah tempat yang nyaman dan adem. Semua sudut-sudut didesain dan dimaksimalkan menjadi arena Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia 2023.

Di balik kemeriahan festival, saya pikir sastra harus menjadi sebuah kapal besar bagi Republik ini. Terutama, menyongsong datangnya era Indonesia Emas 2045. Sebuah masa di mana generasi kekinian harus menghadapi setiap tantangan dengan berwawasan luas. 

Sastra sebagai salah satu unsur kebudayaan telah menjadi jati diri bangsa. Kongres Sumpah Pemuda mengambil tempat pertemuan awal di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) di Waterlooplein (kini Jl Lapangan Banteng), pada 27 Oktober 1928. Tak dimungkiri, barangkali Sumpah Pemuda sesungguhnya ialah "puisi". 

Tercatat dalam lembaran sejarah, Ketua Kongres Sugondo Djojopuspito tegas melontarkan Sumpah Pemuda dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Tokoh-tokoh pemuda dari daerah seperti Rumondor Cornelis Lefrand Sendoek (Jong Celebes) dan Johannes Leimena (Jong Ambon) turut ambil bagian secara aktif. 

Saya sekadar menyebut tiga nama di atas saja. Ya, itu sebagai sebuah ingatan kolektif sebab perwakilan pemuda notabene ialah generasi terpelajar dan terdidik. Bahkah Sendoek, misalnya, mampu berkomunikasi dalam empat atau lima bahasa asing. Sedangkan Leimena, wah jangan ditanya lagi, dia menguasai lebih dari enam bahasa asing. 

Pengetahun-pengetahun tentang Sendoek (Senduk), saya ketahui melalui obrolan-obrolan ringan bersama mendiang sastrawan Remy Sylado, sedangkan Leimena banyak saya diskusikan bersama teman-teman Ambon yang kuliah di Rusia.

Melalui makna Sumpah Pemuda, kita pun mengakui akan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Memang, Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antarpulau menjadi penting untuk menunjukkan keindonesiaan. Akarnya dari bahasa Melayu sehingga tidak bisa disangkal oleh siapapun.

Melalui semangat Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda tahun ini, Media Indonesia sukses menggelar Festival Bahasa dan Sastra ke-3. Sebelumya telah digelar pada 2021 dan 2022. Dampaknya sangat kuat, meski belum begitu terdengar ke pelosok-pelosok Republik ini. 

Untuk tahun ini, rangkaian acara terdiri dari Pidato Kebudayaan, Aktivasi/Lomba (Cerpen, Puisi, dan Storytelling), Peluncuran Buku, Talk Show, Pembacaan Puisi, dan Obral Buku Sastra Murah. Semua disajikan selama dua hari perhelatan, yaitu pada 26-27 Oktober lalu. 

100 Monolog Putu Wijaya

Dengan latar belakang mesin cetak yang tak berfungsi, berbagai kegiatan bertajuk Menyongsong Indonesia Emas 2045 Lewat Sastra digelar secara sukaria. Obral buku menjadi daya tarik bagi para pecinta sastra. Ada dua kategori lapak buku yang disajikan ke pengunjung, yaitu lapak buku suguhan penerbit yang masuk dalam aggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dan lapak penerbit indie

Ada 13 penerbit anggota IKAPI turut ikut berpartisipasi dengan dagangan 1200 judul sebanyak 5000 tiras buku. Sedangkan penerbit non-IKAPI alias indie, ada empat, yaitu Pentas Grafika, Penerbit Lamalera, Terbit Press, dan Marjin Kiri. Semua tersaji secara lebih progresif. Pentas Grafika, misalnya, menghadirkan buku-buku karya sastrawan kawakan Putu Wijaya, sedangkan Lamalera menghadirkan buku terbaru karya penulis Usman Kansong berjudul Toko Buku Terakhir

Di area festival itu, buku Putu berjudul 100 Monolog (2016), misalnya, menjadi buku yang dicetak secara terbatas dan khusus. Itu merupakan naskah-naskah yang ditulis Putu sebelum terpapar di tempat tidur kini. "Karya-karya Putu sangat kuat. Semua ditulisnya sebelum sakit. Kami menerbitkan buku-buku Putu dalam edisi khusus bagi kalangan sastra dan teater," ujar Pengelola Pentas Grafika Cita Moralis.

Kualitas karya Putu itulah yang membuat Cita optimistis ke depannya. Ia meyakini masyarakat akan mencari karya Putu karena ditulis berdasarkan pengamatan realitas sosial dalam tatanan masyarakat kebudayaan di Indonesia.

Sementara itu, Pengelola Lamalera Bona Beding menilai pesatnya buku-buku terbitan indie menjadi penting untuk mengaktualkan wawasan dan pengetahuan para penulis idealis. Tak mengherankan, Bona pun menyambut hangat untuk menerbitkan buku Toko Buku Terakhir tersebut.

Obral buku bukanlah suguhan utama dalam festival tahun ini. Namun, dampaknya sangat kuat terasa sebab memberikan suguhan informasi terkini mengenai dunia kepenulisan dan perbukuan nasional. Ke depannya, budaya baca kita masih perlu untuk ditingkatkan lagi sebagaimana masyarakat sadar baca di Rusia dan Jepang. 

Saya teringat akan sebuah acara buku sastra dunia yang pernah saya kunjungi, yaitu Red Square Book Festival, yang digelar setiap bulan Juni di Moskwa. Para penulis besar selalu diundang untuk hadir mengisi sesi-sesi diskusi kritis. Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin mendukung ajang tahunan itu sebagai cara mempromosikan para penulis muda Rusia ke mata dunia. 

Seorang teman sastrawan Rusia, Vadim Panov, selalu menjadikan ajang bergengsi tersebut untuk meluncurkan karya-karya terbarunya. Maklum, dia merupakan salah satu novelis kenamaan saat ini. Tema utama Panov lebih kepada dunia masa depan yang disuguhkan dengan pendekatan dan gaya science fiction atau fiksi ilmiah. 

Di Gedung Percetakan Media Indonesia, semua menjelma pesta sastra, tempat para penyair dan cerpenis berkumpul dan berdiskusi. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma ikut hadir membacakan cerita pendeknya berjudul Gubrak

Bagi Seno, pesta sastra janganlah berlalu begitu saja, sebab dunia literasi dapat memberikan pencerahan bagi bangsa dalam menyambut datangnya hari esok. "Ini acara yang asyik," tuturnya, sumringah. 

Di ambang senja, matahari perlahan meredup dari balik gedung-gedung pencakar langit. Lampu-lampu jalan mulai menyala perlahan-lahan. Mesin tua kembali sepi sendiri. Entah ia akan bertahan hingga 2045 atau kelak jadi barang rongsokan. 

Satu per satu sastrawan pun angkat kaki meninggalkan lokasi seusai pesta sastra di Kedoya. Sedang saya dan beberapa rekan memilih menikmati kopi panas dan singkong goreng keju di Terrace Coffee & Eatery. Kami menunggu langit malam berganti sebelum pulang ke rumah. (SK-1)


Baca juga: Bayar Kopi dengan Puisi
Baca juga: Puisi yang Memartabatkan
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, editor puisi Media Indonesia, kulturolog, dan penyair. Peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Krimea, Rusia. Ia merupakan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, Jakarta, 2022).

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat