visitaaponce.com

Catatan 70 Tahun Perjalanan sang Sastrawan

Catatan 70 Tahun Perjalanan sang Sastrawan
Cover buku Akhirnya Kita Seperti Dedaun.(Dok. Mata Pelajar Indonesia )

70 seperti jumlah anyaman tali ayunan

Dari sini untuk ke sana

Mungkin menyeberangi garis

Baca juga : Trauma Antargenerasi dan Akrobat Polusi

Mungkin kembali ke masa lalu

 

Tapi apa arti "masa", arti "waktu"

Baca juga : Menjaga Kewarasan dari Balik Jeruji Besi

Jika tak ada yang bertemu

Jika tak ada yang meninggalkanmu?

 

Baca juga : Rekam Obesitas dari Sudut Pandang Berbeda

Tentu, selalu ada yang kita lewati

Selalu ada pagi untuk pergi

 

Baca juga : Ruang yang Sama untuk Berkarya

Tapi di titik ini

Apakah masih ada puncak

Atau hanya jalan turun?

Baca juga : Ketika Rio Johan Bermain-main

 

Inikah titik nisbi ke arah entah?

 

Baca juga : Pelajaran Cinta Kasih dari Sunan Giri

BEGITULAH bunyi puisi berjudul 70 yang ditulis sastrawan Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi dalam buku kumpulan sajak yang berjudul Akhirnya Kita Seperti Dedaun. Sesuai dengan judul puisi tersebut, 70 merupakan umur Yudhistira saat melahirkan buku ini atau pada 2024 ini.

Yudhistira memang tak asing di dunia sastra Tanah Air. Bersama saudara kembarnya, Noorca Marendra Massardi, memberi pengaruh besar dalam jalur yang sama, yaitu jurnalistik, kepenyairan, dan sinema.

Karya-karya Yudhistira yang terkenal antara lain novel Arjuna Mencari Cinta (1977) dan kumpulan puisi Sajak Sikat Gigi (1983). Keduanya mendapat respons pembacaan menarik dari sisi isu yang diangkat hingga pilihan pendekatan kesusastraannya.

Baca juga : Tangkal Kesepian dengan Berbagi Cerita

Yudhistira mengatakan buku kumpulan sajak Akhirnya Kita Seperti Dedaun ditulis untuk memperingati hari ulang tahunnya yang ke-70. Sesuai dengan umurnya saat ini, ia juga menulis 70 sajak untuk buku tersebut.

"Ini hari yang istimewa (ulang tahun ke-70). Ternyata saya masih punya stamina dan berbagai macam cara. Alhamdulillah tercapai juga. Ini prosesnya cukup lama dan kurasi cukup panjang. Saya memilih 70 dari banyaknya puisi yang saya tulis selama tiga tahun terakhir," ujar Yudhistira di Jakarta, Rabu (28/3).

Yudhistira pun lega buku kumpulan sajaknya bisa terbit setelah sebelumnya mengalami perasaan yang campur aduk saat menulis.

Baca juga : Bertolak ke Bali Masa Silam

"Sajak ini memang saya tulis sebelum saya 70 tahun, sejak sekitar November. Saya agak ambisius menuju 70 ini, agak kacau perasaan dan harapan saya. Antara apakah bisa sampai atau tidak, itu terus-menerus menjadi pertanyaan dan gangguan," ungkapnya.

Dari sudut pandang lain, sastrawan Maman Mahayana menyebut buku kumpulan puisi Yudhistira ini menunjukkan perjalanan hidupnya yang sudah mencapai angka itu. Maman yang mengulas buku ini mengungkapkan keseluruhan puisi Yudhistira sebetulnya bolak-balik antara masa kini dan masa lalu, serta harapan Yudhistira yang akan terjadi di masa depan.

Maman menjabarkan, sebagian besar puisi disusun lewat larik-larik pendek, lainnya bermain dengan larik-larik panjang. Ia pun membahas salah satu puisi Yudhistira yang menjadi pembuka, Akhirnya Kita, dengan bait awal berbunyi, 'Akhirnya kita Seperti dedaun, Runduk pada musim'. Bait tersebut, kata Maman, mengisyaratkan perjalanan usia. Yudhistira mengawalinya dengan paradoks: akhir yang ditempatkan sebagai awal (pembuka) dalam siklus kehidupan manusia. Artinya, bait ini laksana perjalanan waktu yang akan sampai juga pada titik akhir.

Baca juga : Buka Tangan dan Telinga untuk Merawat Papua

Ia juga memperhatikan metafora dedaun. Pilihan kata ‘dedaun’ merepresentasikan bentuk jamak yakni kita, bukan aku (daun--tunggal), terasa lebih puitis dan secara semantik lebih tepat ketimbang kata dedaunan yang sudah sangat lazim digunakan para penyair.

"Perkara pilihan diksi itu juga terjadi pada kata ‘runduk’ dan bukan ‘merunduk’ yang lebih gramatikal atau jatuh atau luruh yang juga kelewat lazim digunakan untuk (isyarat) kematian atau akhir perjalanan hidup. ‘Merunduk’ terkesan seperti ada pemaksaan dibandingkan ‘runduk’ yang terasa lebih alamiah," tutur Maman.

Maman mengungkapkan Yudhistira kerap bersiasat melakukan enjambemen, yakni pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi. Meskipun begitu, keseluruhannya menawarkan berbagai peristiwa yang samar-samar, penuh isyarat.

Baca juga : Mengurai Keruwetan Warga Suburban

Bagi Maman, pembaca cukup menikmati puisi Yudhistira karena puisi tak selalu harus dipahami. "Cukup dirasakan pemaknaannya, dibayangkan suasananya. Perkara benar salah, tidak ada keharusannya dalam menafsirkan puisi," ujarnya.

Buku setebal 156 halaman ini bisa menjadi wadah untuk memperkaya diksi puitis dan sumber pikiran serta imajinasi. Dengan demikian, akan lebih baik membaca buku ini secara perlahan, menikmati kata demi kata yang tertulis. (Faj/M-3)

 

Baca juga : Merancang Rumah, Mengenal Interaksi Antarunsurnya

Detail

Penulis: Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi

Judul: Akhirnya Kita Seperti Dedaun

Penerbit: Mata Pelajar Indonesia

Tahun terbit: Februari 2024

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat