Catatan 70 Tahun Perjalanan sang Sastrawan
![Catatan 70 Tahun Perjalanan sang Sastrawan](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/03/17b052c7cb70d514e83235806f40efc6.jpg)
70 seperti jumlah anyaman tali ayunan
Dari sini untuk ke sana
Mungkin menyeberangi garis
Baca juga : Trauma Antargenerasi dan Akrobat Polusi
Mungkin kembali ke masa lalu
Tapi apa arti "masa", arti "waktu"
Baca juga : Menjaga Kewarasan dari Balik Jeruji Besi
Jika tak ada yang bertemu
Jika tak ada yang meninggalkanmu?
Baca juga : Rekam Obesitas dari Sudut Pandang Berbeda
Tentu, selalu ada yang kita lewati
Selalu ada pagi untuk pergi
Baca juga : Ruang yang Sama untuk Berkarya
Tapi di titik ini
Apakah masih ada puncak
Atau hanya jalan turun?
Baca juga : Ketika Rio Johan Bermain-main
Inikah titik nisbi ke arah entah?
Baca juga : Pelajaran Cinta Kasih dari Sunan Giri
BEGITULAH bunyi puisi berjudul 70 yang ditulis sastrawan Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi dalam buku kumpulan sajak yang berjudul Akhirnya Kita Seperti Dedaun. Sesuai dengan judul puisi tersebut, 70 merupakan umur Yudhistira saat melahirkan buku ini atau pada 2024 ini.
Yudhistira memang tak asing di dunia sastra Tanah Air. Bersama saudara kembarnya, Noorca Marendra Massardi, memberi pengaruh besar dalam jalur yang sama, yaitu jurnalistik, kepenyairan, dan sinema.
Karya-karya Yudhistira yang terkenal antara lain novel Arjuna Mencari Cinta (1977) dan kumpulan puisi Sajak Sikat Gigi (1983). Keduanya mendapat respons pembacaan menarik dari sisi isu yang diangkat hingga pilihan pendekatan kesusastraannya.
Baca juga : Tangkal Kesepian dengan Berbagi Cerita
Yudhistira mengatakan buku kumpulan sajak Akhirnya Kita Seperti Dedaun ditulis untuk memperingati hari ulang tahunnya yang ke-70. Sesuai dengan umurnya saat ini, ia juga menulis 70 sajak untuk buku tersebut.
"Ini hari yang istimewa (ulang tahun ke-70). Ternyata saya masih punya stamina dan berbagai macam cara. Alhamdulillah tercapai juga. Ini prosesnya cukup lama dan kurasi cukup panjang. Saya memilih 70 dari banyaknya puisi yang saya tulis selama tiga tahun terakhir," ujar Yudhistira di Jakarta, Rabu (28/3).
Yudhistira pun lega buku kumpulan sajaknya bisa terbit setelah sebelumnya mengalami perasaan yang campur aduk saat menulis.
Baca juga : Bertolak ke Bali Masa Silam
"Sajak ini memang saya tulis sebelum saya 70 tahun, sejak sekitar November. Saya agak ambisius menuju 70 ini, agak kacau perasaan dan harapan saya. Antara apakah bisa sampai atau tidak, itu terus-menerus menjadi pertanyaan dan gangguan," ungkapnya.
Dari sudut pandang lain, sastrawan Maman Mahayana menyebut buku kumpulan puisi Yudhistira ini menunjukkan perjalanan hidupnya yang sudah mencapai angka itu. Maman yang mengulas buku ini mengungkapkan keseluruhan puisi Yudhistira sebetulnya bolak-balik antara masa kini dan masa lalu, serta harapan Yudhistira yang akan terjadi di masa depan.
Maman menjabarkan, sebagian besar puisi disusun lewat larik-larik pendek, lainnya bermain dengan larik-larik panjang. Ia pun membahas salah satu puisi Yudhistira yang menjadi pembuka, Akhirnya Kita, dengan bait awal berbunyi, 'Akhirnya kita Seperti dedaun, Runduk pada musim'. Bait tersebut, kata Maman, mengisyaratkan perjalanan usia. Yudhistira mengawalinya dengan paradoks: akhir yang ditempatkan sebagai awal (pembuka) dalam siklus kehidupan manusia. Artinya, bait ini laksana perjalanan waktu yang akan sampai juga pada titik akhir.
Baca juga : Buka Tangan dan Telinga untuk Merawat Papua
Ia juga memperhatikan metafora dedaun. Pilihan kata ‘dedaun’ merepresentasikan bentuk jamak yakni kita, bukan aku (daun--tunggal), terasa lebih puitis dan secara semantik lebih tepat ketimbang kata dedaunan yang sudah sangat lazim digunakan para penyair.
"Perkara pilihan diksi itu juga terjadi pada kata ‘runduk’ dan bukan ‘merunduk’ yang lebih gramatikal atau jatuh atau luruh yang juga kelewat lazim digunakan untuk (isyarat) kematian atau akhir perjalanan hidup. ‘Merunduk’ terkesan seperti ada pemaksaan dibandingkan ‘runduk’ yang terasa lebih alamiah," tutur Maman.
Maman mengungkapkan Yudhistira kerap bersiasat melakukan enjambemen, yakni pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi. Meskipun begitu, keseluruhannya menawarkan berbagai peristiwa yang samar-samar, penuh isyarat.
Baca juga : Mengurai Keruwetan Warga Suburban
Bagi Maman, pembaca cukup menikmati puisi Yudhistira karena puisi tak selalu harus dipahami. "Cukup dirasakan pemaknaannya, dibayangkan suasananya. Perkara benar salah, tidak ada keharusannya dalam menafsirkan puisi," ujarnya.
Buku setebal 156 halaman ini bisa menjadi wadah untuk memperkaya diksi puitis dan sumber pikiran serta imajinasi. Dengan demikian, akan lebih baik membaca buku ini secara perlahan, menikmati kata demi kata yang tertulis. (Faj/M-3)
Baca juga : Merancang Rumah, Mengenal Interaksi Antarunsurnya
Detail
Penulis: Yudhistira Ardi Noegraha Moelyana Massardi
Judul: Akhirnya Kita Seperti Dedaun
Penerbit: Mata Pelajar Indonesia
Tahun terbit: Februari 2024
Terkini Lainnya
Perang Melawan Judi Online
Ujaran Kebencian Menggerus Erosi Budaya
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap