visitaaponce.com

UU TPKS Jamin Hak Korban untuk Mengakses Proses Hukum dan Dokumen Hasil Penanganan

UU TPKS Jamin Hak Korban untuk Mengakses Proses Hukum dan Dokumen Hasil Penanganan
Ilustrasi kekerasan seksual(Dok. MI )

SEJAK terbitnya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) membawa harapan baru bagi penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual. Beleid itu diharapkan dapat mencegah terjadinya TPKS sekaligus menjerat pelaku serta fokus pada pemulihan korban.

Dalam rangkaian acara Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai salah satu lembaga pelaksana dan perumus regulasi tersebut membedah berbagai tantangan dan peluang dalam melaksanakan UU TPKS yang terbit pada 9 Mei 2022 itu.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan pentingnya membangun gerakan bersama untuk melakukan perubahan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Baca juga : Aliansi Perempuan Bangkit Soroti Lemahnya Penegakan Hukum Kasus HAM pada Perempuan

“Rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan merupakan pengingat tentang pentingnya sebuah forum bersama untuk membangun sebuah gerakan untuk melakukan perubahan," kata Andy Yentriyani dalam diskusi publik bertajuk “Tantangan dan Peluang UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual" di Jakarta pada Rabu (6/12).

Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah mengatakan UU TPKS memberikan terobosan baru dan mengakselerasi proses hukum yang terdapat KUHP. Disebutkan bahwa UU TPKS, telah menjamin proses hukum bagi korban untuk mendapatkan berbagai hak penanganan sejak proses pelaporan.

Berbagai hak yang didapatkan adalah hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan dan pemulihan; hak atas layanan hukum; hak atas pelayanan kesehatan; hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik; hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; hak atas penguatan psikologis; dan hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.

Baca juga : Modul Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) akan Segera Diluncurkan

“Hak-hak korban ini tidak ada di dalam KUHAP, bahkan tidak ada pengakuan posisi korban setara dengan tersangka dan terdakwa. Upaya ini untuk memperkuat atau melengkapi yang tidak ada di dalam hukum pidana, misalnya tidak hanya terdakwah yang dijamin tapi hak-hak korban huga diakui dan dijamin, seperti hak atas penanganan perlindungan dan pemulihan,” jelas Aminah.

Aminah menjelaskan bahwa selama ini dalam proses penanganan kasus, pelapor dan korban tidak diberikan informasi secara jelas dan transparan mengenai persidangan dan keterangan hasil penanganan. Hal itu membuat kasus kerap kali terjadi kriminalisasi bahkan lebih jauh lagi dapat menggantung kasus hingga memberhentikan kasus begitu saja sehingga tak pernah ada pencapaian keadilan bagi korban.

“Korban tiba-bisa mendapat panggilan dari kepolisian untuk mengikuti sidang lalu tidak ada informasi lebih lanjut korban harus seperti apa saat sidang, apa yang harus dikatakan dalam persidangan dan lainnya. Selain itu, korban juga tidak mendapatkan hasil dokumen penanganan sehingga tidak tahu siapa saksi yang sudah dipanggil dan apa hambatannya. Di UU TPKS ini korban mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dokumen perkembangan hasil penyidikan, penyelidikan dan penanganan,” jelasnya.

Baca juga : Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks

Selain itu, UU TPKS juga mengakomodir korban untuk mendapatkan layanan hukum, kesehatan dan penguatan psikologis. Aminah menjelaskan bahwa hal ini tidak dijamin oleh KUHP sehingga korban tidak punya hak atas bantuan hukum karena asumsi bantuan hukum didefinisikan lewat perwakilan Jaksa.

“Dengan adanya peradilan Jaksa, negara mengatakan bahwa kedudukan korban akan setara dengan tersangka/terdakwa tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah Jaksa itu mewakili kepentingan korban atau justru Jaksa itu mewakili kepentingan ‘order’ atau ketertiban umum atau tertib sosial? Bagi saya Jaksa masih sebatas mewakili negara untuk menegakkan tindak pidana saja bukan melihat hak-hak korban,” ungkapnya.

Terobosan UU TPKS juga memberikan terobosan baru dalam menyediakan hak atas pemulihan bagi korban seperti proses rehabilitasi, medis, mental dan sosial; pemberdayaan sosial dan restitusi atau konversasi serta reintegrasi sosial.

Baca juga : Pahami UU TPKS untuk Lawan Kekerasan Seksual

“Hak-hak itu diberikan kepada korban setelah pengadilan selesai. Semua itu harus dipahami oleh APH karena perempuan yang berhadapan dengan hukum juga memiliki hak-ham yang sama di dalam UU TPKS,” jelasnya.

Pada peringatan K16HAKtP 2023 yang mengambil tajuk “Gerak Bersama, Kenali Hukumnya, Lindungi Korbannya”, terdapat 119 organisasi yang tersebar di 21 provinsi turut meramaikan sejak 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan berakhir pada 10 Desember 2023 yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.

“Ini mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dari pelanggaran HAM, oleh sebab itu upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari pemenuhan hak asasi itu sendiri,” ujar Andy.

Melihat riwayatnya, sejak 2010 hingga 2014, peringatan K16HAKtP mengusung tema “Kenali dan Tangani” yang menjadi salah satu landasan dan andil dalam mendorong terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.

“Yang bisa mendorong sampai upaya untuk membangun payung hukum secara khusus kekerasan seksual diadopsi di Prolegnas 2014 dan setelah itu Kampanye 16 Hari mengambil tagline Gerak Bersama untuk memastikan payung hukumnya ada dan kita bisa gunakan,” katanya. (Dev/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat