visitaaponce.com

Kisah Janda Miskin Penganyam Tas Pandan Jokowi, Ikhlas Tak Dibayar

Kisah Janda Miskin Penganyam Tas Pandan Jokowi, Ikhlas Tak Dibayar
Lusia sedang duduk menganyam di atas kuburan suaminya.(MI/Ignas Kunda)

TIANG salib besi bercat kuning berdiri gagah pada bagian kepala sebuah kuburan di Desa Aeramo, Mbay, Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada tiang tersebut terpampang sebuah nama KFG dengan tanda bintang (lahir) 1947 dan tanda plus (meninggal) 2020.

Di atas kuburan tampak seorang ibu tua dengan kaca mata terus menunduk dengan tangan dan jari terus bersilang.  

Saban hari semenjak kepergian suaminya akibat stroke, Lusia selalu duduk menganyam di atas kuburan suaminya. Ada 3 kuburan yang tersusun sejajar dengan tinggi sekitar 1 meter berlapis keramik biru langit dan beratap seng. 

Baca juga : Pasar Terbakar Hebat, Empat Bangunan dan Lapak Hangus Terbakar

Kuburan menghadap jalan desa dengan pohon mangga rimbun sebagai peneduh di siang hari. Udara sejuk berhembus menemaninya yang terus berkutat dengan utasan daun pandan berukuran sekitar 3 mm.

“Ini kubur suami saya, di sini udaranya lebih dingin. Daun pandan tidak rusak atau garing karena di rumah sana panas sekali kalau siang hari,” ungkap Lusia Ngoe,63, sambil menunjuk ke samping kuburan sebuah rumah bambu miliknya.

Rumah bambunya tua dan kusam berjarak sekitar 5 meter dari kuburan suaminya. Rumahnya  setinggi 2,75 meter beratap seng. Jendelanya tak berdaun hanya ditutupi seng untuk memudahan sirkulasi udara. 

Baca juga : KPPS di Kota Kupang Mulai Hitung Suara Pemilu 2024

Namun walupun jendelanya telah terbuka lebar, udara dalam rumah terasa sangat panas sehingga rasanya tidak nyaman untuk berlama-lama dalam ruangan. 

Hanya ada dua kamar dan sebuah ruang tamu sekaligus tempat Lusia menaruh semua perlatan dan daun pandan untuk anyaman.

Di Desa Aeramo, Mbay, Nagekeo cuaca ketika musim kemarau bisa mencapai 39 derajat celsius yang membuat ia sangat tidak nyaman untuk menganyam dalam ruangan itu. 

Baca juga : Ribuan Pengungsi Erupsi Lewotobi Mulai Kesulitan Air Bersih

Selain itu daun pandan akan mudah putus karena garing. Ia harus selalu menggunakan kain basah untuk mendinginkan daun pandan agar tidak mudah rusak bila menganyamnya dalam rumah.

 

Baca juga : Program Urban Futures Sasar Milenial Manggarai Barat Ciptakan Kedaulatan Pangan

Lusia tinggal bersama dua anak perempuan, seorang menantu dan tujuh cucunya. MI/Ignas Kunda

 

Di rumah ini Lusia tinggal bersama dua anak perempuannya yang telah menikah, seorang menantu serta tujuh cucunya, sehingga total ada 11 orang yang tinggal dalam rumah tersebut. “Ini gubuk derita susah senang ada semua di sini,” ungkap Lusia senyum.

Baca juga : Fenomena El Nino di NTT bakal Berlanjut sampai April 2024

Walaupun demikian, tidak membuat Lusia patah semangat. Ia terus menganyam walaupun harus berpindah-pindah tempat. Anyamannya sangat rapi, setiap utas daun pandan dibelah sama ukuran. Di bagian luar anyaman sebesar 3 mm sedangkan bagian dalam sebesar 5 mm. Ratusan karya tidak dapat dihitung telah dihasilkan dari tangan mungil Lusia.

“Bere atau lipe (tas segi empat) buat pak Jokowi saya anyam selama 3 hari mulai dari pagi jam 9 hingga malam jam 10,” kata Lusia.

Menurut Lusia untuk menganyam lipe buat Jokowi ia tidak mendapat bayaran sepeser pun. Namun ia tetap ikhlas dan bangga karena hasil karyanya telah dipakai oleh orang nomor satu di republik ini ketika berkunjung ke Kabupaten Nagekeo,NTT pada 5 Desember 2023 lalu.

Baca juga : Erupsi Gunung Lewotobi, PVMBG Imbau Warga Tidak Lepas Masker

“Saya terharu dan bangga walaupun saya janda miskin akhirnya hasil karya saya dipakai oleh orang nomor satu, bapak Jokowi,” kata janda beranak lima dengan mata berkaca-kaca.

Lusia kini telah berumur 63 tahun. Ia mulai menganyam sejak tahun 80-an ketika baru beranak dua. Ia mulai giat menganyam mengikuti ibunya yang juga bisa mengayam. 

Awalnya ia belajar menganyam tikar menggunakan daun pandan karena kekurangan tikar untuk menyimpan padi. Lalu kemudian mulai belajar menganyam bere atau boda (wadah berbentuk silinder atau drum).  

Baca juga : Status Gunung Lewotobi Naik ke Siaga, Ratusan Warga Mengungsi

“Ada boda orang punya yang rusak coba saya ambil bawah ke rumah lalu saya belajar oh caranya seperti ini,” katanya. 

Menganyam cukup memberi penghasilan tambahan buat keluarga Lusia. Sewaktu suaminya masih hidup, ia juga bekerja di kebun, dan ketika pulang dari kebun ia selalu menganyam untuk mendapatkan penghasilan tambahan. 

Namun semenjak kematian suaminya ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengayam. Anak-anaknyanya tak mengijinkan lagi ia bekerja di kebun karena umurnya yang tak lagi kuat berkebun. 

Baca juga : Peduli Stunting di Flotim, Bank NTT Sumbang Rp50 Juta

“Ya paling Rp500 ribu sebulan. Tapi saya tetap anyam simpan saja di rumah.  Anyam sekedar untuk bantu uang air, listrik serta bantu cucu yang ada sekolah dan kuliah,” ungkapnya. 

 

MERAWAT ALAM DAN MENGURANGI PLASTIK

 

Baca juga : Real Count di NTT: Demokrat dan PDIP Selisih Tipis, PSI Tembus 5,61%.

Lusia memperlihatkan daun pandan kering sebagai bahan baku utama anyamannya. (MI/Ignas Kunda)

 

Baca juga : NTT Siagakan 3.867 Personel Amankan Natal dan Tahun Baru

Lusia sangat tertarik dan terus menganyam sejak berumur 20 tahun karena dengan terus menganyam, ia tidak harus mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang plastik. 

Baginya dengan menggunakan daun pandan kita memelihara adat dan budaya karena dalam setiap perhelatan adat atau ritual adat selalu menggunakan anyaman berbahan daun pandan atau lontar.  

“Kalau orang antar belis pasti mereka pesan lipe atau tikar pakai daun pandan,” katanya.

Baca juga : Kapal Vision Global Tenggelam, 13 Orang Selamat, 8 dalam Pencarian

Sebagian besar karya Lusia menggunakan daun pandan. Daun pandan pernah ia tanam di kebun namun sudah dipotong akibat pembersihan saluran irigasi. Sehingga kini ia selalu bergantung pada pohon pandan milik kerabatnya.

Menurut Lusia dengan menganyam kita turut merawat alam dimana kita dituntut harus menanam pandan untuk bahan bakunya, serta mengurangi bahan plastik yang tentunya mengurangi sampah plastik. 

“Saya biasa anyam boda, te’e(tikar), gobhe(topi), wati(mangkuk). Dari pada kita harus beli kenapa kalau bisa anyam kita pakai anyam saja pakai pandan di kebun,” katanya.

Baca juga : Bakti Srikandi Taspen Selamatkan Bumi Tanam Pohon di Kupang

SABAR KUNCI KEBERHASILAN

Bulan November lalu di aula gereja paroki Yesus kerahiman Ilahi, Aeramo sekitar 27 anak muda yang kebanyakan lelaki mulai sibuk menganyam menggunakan daun pandan. Mereka duduk secara berkelompok. Di tengahnya juga terlihat Lusia sibuk memberi petunjuk pada seorang pemuda untuk menganyam. 

Lusia menjadi salah satu pengajar para anak muda ini. Ia mulai melatih para pemuda selama sebulan penuh dengan difasilitasi Dekranasda Nagekeo mulai dari membelah daun pandan dan daun lontar menjadi sama ukurannya. 

Bagi warga sekitar karya Lusia telah cukup dikenal luas karena kualitasnya. Ia kerap ditunjuk sebagai penganjar berkat keahliannya dalam menganyam. Selain dipakai presiden Jokowi, Lusia juga pernah membuat lima buah lipe untuk acara ASEAN Summit 2023  di Labuan Bajo.

Baca juga : Kampanye di Kupang, Ganjar Pranowo Diteriaki Presiden

Pada setiap acara seremonial baik di sekolah atau di gereja serta pemerintahan selalu menggunakan karya tangannya.
“ Kadang anak sekolah itu kalau ada ujian atau kegiatan sekolah pasti datang pinjam lipe atau boda di saya untuk mereka pakai” katanya.

Lusia berharap setidaknya dalam sekolah pada kegiatan ekstra kurikulernya sehingga anak muda mulai dilatih cara menganyam.
“ Kalau hanya sekedar anyam bisa namun untuk rapih kuat maka harus sabar dan tekun, kalo tidak, tidak akan jadi, ” kata Lusia.

Fransiska Nenu salah seorang wanita warga Desa Aeramo adalah salah satu wanita yang kini akhirnya bisa menganyam demi membantu ekonomi rumah tangganya. Ia harus sabar mengulang beberapa kali karena kesalahan tidak teliti dalam mengihitung pinggiran dan sudut.  

Baca juga : KPUD Manggarai Barat Kecolongan, Terpidana Lolos Jadi Caleg Tetap

“ Saya pernah sudah anyam namun hitung salah maka harus anyam ulang. Makanya perlu sabar kalo tidak begitu saya mungkin tidak bisa anyam,” katanya.

Perbedaan kualitas anyaman Lusia dengan yang lain soal suwiran yang lebih kecil sehingga bisa bertahan 5-6 tahun bila dipakai terus. Dalam menjamin kualitas, menuntut kesabaran tinggi ketika menarik atau menggurah daun pandan berulang-ulang setelah proses penjemuran agar kualitasnya baik. Membutuhkan 40 daun pandan untuk menghasilkan lipe berukuran 25x25 cm. 

“ Prosesnya ambil tulang tengahnya sisa daunnya lalu  jemur atau lepas saja di teduh sampai lembek lalu ditarik atau digaruk pakai bilah bambu atau pisau. Setelah itu jemur lagi 2 hari, hingga warnanya memutih setelah itu tarik lagi sampai lentur setelah itu digulung,” ungkapnya.

Baca juga : Duh, UMP NTT cuma naik Rp62 Ribu Tahun Depan

Menurut Lusia pendapatannya dari menganyam tidak seberapa namun ia terus melakukannya dan menyimpannya di rumah sebagai pajangan. Menganyam adalah kesenangannya yang tidak terkejar dengan waktu dan uang. Ia menganyam bukan hanya untuk mengahasilkan uang namun untuk kesenangannya serta mengisi hari-hari di usia senjanya.

“ Khawatir bila tidak ada yang bisa anyam lagi. Kalau orang tau budaya pasti pakai pandan bukan beli tas di toko. Saya anyam mau senang saja, tidak paksa, kalau cape istrahat. ” pungkas Lusia melepaskan anyamannya dan mengambil sirih dan pinangnya untuk dikunyah. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat