visitaaponce.com

Publik Masih Percaya Informasi Sesat di Media Sosial

Publik Masih Percaya Informasi Sesat di Media Sosial
Ilustrasi Pemilu 2024(Dok.MI )

PENGGUNAAN internet dan penetrasi media sosial telah meningkat signifikan dari 2019 hingga 2023. Namun, paparan publik terhadap gangguan informasi masih tinggi, hampir setengah populasi mempercayai informasi yang salah. Hal ini menuntut kerja sama yang lebih kuat antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil untuk memperbaiki ekosistem informasi. 

CSIS Indonesia dalam survei opini publik Proyeksi dan Mitigasi Penyebaran Gangguan Informasi dalam Pemilu 2024 mengungkapkan kerentanan publik terhadap gangguan informasi masih mengkhawatirkan, karena berbagai faktor seperti verifikasi informasi yang rendah, akses terhadap pemeriksaan fakta yang terbatas, dan mentalitas konspirasi dapat mempercepat penyebaran informasi salah. Dari data survei yang dilakukan pada September 2023 terdapat peningkatan signifikan terhadap pengguna internet dibandingkan pada 2019. Ada 2019 41,7% pernah mencari berita melalui internet sedangkan yang tidak yakni 58,3%. Sedangkan pada 2023, 64,5% pernah mencari berita melalui internet dan 35,5% tidak pernah.

"Frekuensi akses internet meningkat dari 41,7% menjadi 64,5% pada tahun 2019 ke 2023. Jika dibandingkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (KPU 2019, 2023) terjadi peningkatan dari 80,4 juta (2019) menjadi 132,1 juta (2023)," jelas peneliti CSIS, Arya Fernandes pada Rabu (18/10).

Baca juga: Untuk Kepentingan Pilpres, Erick Thohir dan Yusril Mohonkan Surat tidak Pernah Dipidana

Data lainnya menyebutkan platform media sosial yang banyak digunakan dan tingkat kepercayaan gangguan informasi yakni Whatsaap 95,8%, Youtube 78,6%, Facebook 74,6%, Tik Tok 48,4%, Instagram 40,1%, Telegram 18% dan X 12,4%.

Dibandingkan dengan aplikasi media sosial lain, Twitter (12,4%) dan Telegram (18,0) merupakan platform yang paling sedikit digunakan oleh pemilih. Namun, pengguna kedua media sosial tersebut cenderung lebih percaya terhadap gangguan informasi (Twitter 76,4% dan Telegram 71,2%) dibanding platform lainnya.

Baca juga: Pakar Hukum UGM: Putusan Capres-Cawapres di Luar Kebiasaan MK

"Faktor paparan terhadap gangguan informasi, kebijakan internal platform, ketersediaan ruang untuk moderasi konten, serta akun-akun non-organik (bot) dapat menjadi faktor-faktor yang meningkatkan kepercayaan terhadap gangguan informasi di kedua platform tersebut," jelasnya.

Sementara itu data peran televisi dalam menyajikan informasi sepilutar politik masih menjadi andalan publik. Tercatat 73,9% publik mendapatkan informasi politik dari televisi, lalu di posisi kedua yakni Whatsapp 54,3% dan Youtube 51,1% sedangkan 10 posisi lainnya ditempati oleh platform digital dan konvensional lainnya termasuk Google 41,4% radio 12,6% dan di posisi terakhir yakni X 8,1%.

"Gangguan informasi pemilu dan non-pemilu masih tinggi, hampir setengah dari responden mengaku percaya pada informasi salah. Gangguan informasi pemilu 42,3% percaya dan 57,7% tidak percaya. Gangguan informasi nonpemilu 48,4% percaya dan 51,6% tidak percaya," sambungnya.

Gangguan informasi menyebar di berbagai platform, tidak hanya media sosial tetapi juga medium informasi lainnya. Meskipun penyebaran gangguan informasi tinggi, sebagian besar masyarakat tidak menyadari bahwa gangguan informasi kebanyakan merupakan gerakan terorganisir.

"Pengaruh gangguan informasi yang tinggi memiliki banyak dampak buruk yang tampak dari menurunnya dukungan publik terhadap demokrasi dan kepercayaan terhadap integritas penyelenggara pemilu. Pendekatan kolaboratif multidimensi diperlukan untuk memitigasi dampak ini dan memperkuat proses demokrasi," paparnya.

Sementara itu langkah-langkah mitigasi saat ini belum sepenuhnya efektif. Program literasi digital perlu diperluas dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat dengan kurikulum dan tujuan yang disempurnakan untuk memberdayakan pengguna membuat penilaian sendiri terhadap informasi. Evaluasi efektivitas kurikulum dan target literasi digital perlu dilakukan.

"Mekanisme pemeriksaan fakta dan pelaporan di platform digital perlu ditingkatkan untuk mendorong peningkatan penggunaan oleh publik," tambahnya.

 

Ujaran Kebencian

Di waktu yang sama Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria Satu hal yang ditakutkan adalah ujaran kebencian yang bisa mengancam polarisasi yang mungkin akan terjadi lagi sampai ke perseteruan di meja makan.

"Dan politik identitas. Lalu bentuk kekacauan informasi penyebaran sara menimbulkan kerugian, disinformasi sara dengan sengaja. Ada kesengajaan untuk mengacaukan," ucapnya.

Komisioner KPU August Melasz mengungkapkan, KPU akan segera memelajari data survei tersebut. Salah satunya fenomena yang bersifat global yang disebut kekacauan informasi atau information disorder.

"Tren itu yang berulang dan ini bisa membuat KPU untuk memitigasinya. Dan ini bukan fenomena yang random tapi sistemik. Kami sadar betul pemilu atau ajang ini punya potensi pecah belah bangsa. Tapi pemilu sebenarnya jadi sarana integrasi nasional," ungkapnya.

Pernyataan lain ditegaskan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan. Fenomena dis informasi muncul karena informasi dari pemilik kewenangan terlambat.

"Jadi kecepatan pada yang memiliki otoritas untuk cepat memberikan informasi itu penting. Terkait pemilu yang paling penting pesertanya juga ikut membantu. Masyarakat harus punya rujukan. Dan juga edukasi ruang kerja ruang digital itu seperti apa," tukasnya. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat