Climate Smart Agriculture DijadikanSolusi Tekan Emisi Gas Rumah Kaca
![Climate Smart Agriculture Dijadikan Solusi Tekan Emisi Gas Rumah Kaca](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/02/b6242464c67b56d3d78023df3c934ab2.jpg)
AKTIVITAS manusia yang menyebabkan peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global.
Hal ini disebabkan adanya penggunaan energi yang tidak berkelanjutan, penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan, gaya hidup, serta pola konsumsi dan produksi yang dilakukan manusia secara individual, antar wilayah dan antar negara.
Suhu permukaan bumi secara global pada 2011 hingga 2020 tercatat meningkat sebesar 1.09 derajat Celcius (0.95 - 1.20C) lebih tinggi ketimbang suhu pada 1850 hingga 1900.
Baca juga : Kementan Kerahkan Penyuluh CSA Lombok Tengah Ukur Emisi Gas Rumah Kaca
Pada 2019, emisi GRK yang berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan menyumbang sebesar 79% dan 22% berasal dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (Agriculture, Forestry and Other Land Use atau AFOLU dan Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, 2023].
Emisi GRK pada sektor pertanian menyumbang 8% dari total emisi Indonesia. Diketahui, GRK utama dari pertanian adalah CH4 dan N2O.
CH4 timbul terutama dari budi daya padi, penguraian bahan organik secara anaerobik selama fermentasi enterik dan pengelolaan pupuk kandang.
Baca juga : Petani CSA Pinrang, Sulsel, Terapkan Tanam Jajar Legowo 2:1
Gas N2O yang timbul berasal dari transformasi mikroba N dalam tanah dan pupuk kandang - selama pemberian pupuk kandang dan pupuk sintetis pada lahan dan melalui urin dan kotoran yang disimpan oleh hewan penggembalaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian disingkat Balitbangtan, 2022).
Pada COP 21 di Paris, Prancis, pada 2015, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030, kemudian komitmen ini diteken pada Paris Agreement di tahun yang sama.
Sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement tersebut, Indonesia mengeluarkan Nationally Determined Contribution (NDC) pertama pada 2016 yang menargetkan pengurangan emisi GRK di Indonesia seperti tercantum pada Paris Agreement.
Baca juga : Penyuluh CSA NTB Tingkatkan Wawasan Emisi dan Mitigasi Gas Rumah Kaca
Guna mencapai target tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 terkait penerapan Nilai Ekonomi Karbon [NEK] di Indonesia dengan mekanisme seperti 1) Perdagangan Karbon; 2) Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based Payment); 3) Retribusi/Pajak Karbon; dan 4) Mekanisme lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Untuk mencapai komitmen yang tertuang pada Paris Agreement dan NDC, diperlukan upaya yang serius dari semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
Salah satu program Kementerian Pertanian (Kementan) menghadapi pemanasan global dan pengurangan emisi GRK yakni dengan penerapan teknologi Pertanian Cerdas Iklim atau Climate Smart Agriculture (CSA).
Baca juga : Kementan Dampingi Petani CSA Deli Serdang Wujudkan Pertanian Rendah Karbon
CSA diimplementasikan Program Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project (SIMURP) bersama Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan) dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementan.
Adapun teknologi CSA yang digunakan yakni Teknologi Hemat Air atau Alternate Wet and Dry (AWD), penggunaan bibit unggul yang beremisi rendah dan tahan cekaman, penerapan teknologi pemupukan berimbang dan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah/Rawa [PUTS/R], penggunaan serta pembuatan pupuk organik, penerapan sistem tanam Jajar Legowo dan penggunaan serta pembuatan pestisida nabati.
Selama pengimplementasian Program SIMURP sejak 2019 dilakukan kegiatan pengukuran emisi GRK pada 2021 dan 2023.
Baca juga : Kementan Dorong Petani di Demak, Jateng, Terapkan Pemupukan Berimbang
Pengukuran yang dilakukan pada 2021 di delapan provinsi dan 46 Balai Penyuluhan Pertanian [BPP] membuktikan bahwa kegiatan CSA Demplot pada Program SIMURP memberikan penurunan emisi GRK rata-rata sebesar 27% dibandingkan cara konvensional [Non-CSA].
Sedangkan hasil pengukuran yang dilakukan pada 2023 di enam provinsi dan 15 BPP menunjukkan bahwa perlakuan dari kegiatan CSA SIMURP dapat menurunkan emisi GRK sebesar 4,6 hingga 62,6% dibandingkan non-CSA.
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang diterapkan pada program ini selain dapat meningkatkan produktivitas petani, dapat pula menurunkan emisi GRK. (S-4)
Baca juga : Ukur Emisi, Petani CSA di Deli Serdang, Sumut, Berupaya Tekan Gas Rumah Kaca
Terkini Lainnya
Miliki Agrowisata, UMSU akan Menjadi Percontohan Kampus Hijau di Indonesia
PosIND Goes Green Bantu Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca
Limbah Fesyen Hantui Dunia, Busana Daur Ulang Semakin Diminati
Runner Up Miss Universe Indonesia Vina Sitorus Sosialisasikan Urban Farming
Tuah Rotan Hasilkan Cuan
Jangan Gunakan Kantong Plastik untuk Bungkus Daging Kurban
Kebijakan Pengurangan Emisi Sektor Industri Perlu Implementasi Konsisten
Dirjendiktiristek Hadiri Peluncuran UI Net Zero Initiative
Indonesia-Norwegia Perkuat Upaya Konservasi & Pengurangan Emisi
Dukung UMKM di Wonosobo, Pama Group Fasilitasi Program Berbasis Lingkungan
Pentingnya Perangkat Lunak, Otomasi, dan Elektrifikasi dalam Meningkatkan Daya Saing Industri
Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca, SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap