visitaaponce.com

Masyarakat Nanti Solusi Nyata Pemerintah Atasi Polusi Udara

Masyarakat Nanti Solusi Nyata Pemerintah Atasi Polusi Udara
Hari bebas kendaraan di Kawasan Jakarta(MI/Susanto)

"Setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat".

Kalimat di atas, adalah penggalan ayat yang tertuang pada pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi pasal tersebut secara khusus menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk hidup dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. 

Artinya pemerintah harus menjamin adanya ketersediaan ruang hidup yang aman bagi seluruh warganya, terbebas dari segala bentuk pencemaran atau zat beracun. 

Baca juga : Pemprov DKI akan Perluas Kawasan Rendah Emisi di Jakarta

Hak atas lingkungan yang sehat ini, juga termasuk jaminan atas kualitas udara yang bersih dan tidak mengandung unsur-unsur beracun yang jusru dapat membahayakan.

Kenyataan justru berbanding terbalik dengan apa yang tertuang dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tersebut. Warga Indonesia, khususnya Jabotedabek saat ini seakan hidup berdampingan dengan adanya polusi udara di tingkat yang mengkhawatirkan. 

Beberapa minggu terakhir bahkan, Jakarta didaulat sebagai kota paling berpolusi di dunia, dan meyeret perhatian media-media internasional. Bagaimana tidak, berulang kali kondisi udara di Jakarta berada di level yang jauh di atas panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Baca juga : Kurangi Polusi Udara, Pemprov DKI Jakarta Perluas Layanan Integerasi Angkutan Umum

Berdasarkan data yang dihimpun dari IQAir.com, sepanjang tahun 2022, konsentrasi zat pencemar udara PM2,5 di Indonesia rata-rata sebesar 6,1 kali di atas panduan kualitas udara yang direkomendasikan oleh WHO dengan indeks kualitas udara ada di level 89 (sedang). Indonesia menempati peringkat ke 26 di dunia sekaligus menjadi yang pertama di wilayah Asia Tenggara sebagai negara dengan udara paling berpolusi.

Bahaya Polusi Udara Bagi Kesehatan

Polusi udara bukanlah suatu persoalan yang patut disepelekan. Kondisi ini bisa menjadi faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan manusia menjadi sangat buruk. Menurut data yang dipublikasikan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation, sebuah badan kajian dari Universitas Washington di Seattle, Amerika Serikat, pada tahun 2019, polusi udara menempati urutan ke-empat sebagai salah satu faktor risiko penyebab kematian tertinggi di dunia, dengan persentase mencapai 11,8% dari total kematian.

Sementara menurut data dari WHO, empat penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia adalah penyakit jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronis dan infeksi saluran pernafasan bawah. Penyakit-penyakit ini adalah daftar penyakit yang dapat diperparah oleh adanya penghirupan zat beracun berlebihan akibat polusi udara, utamanya bahaya berasal dari masuknya partikel PM2,5 ke dalam paru-paru manusia. 

Baca juga : Kualitas Udara Jakarta Kembali Memburuk pada Minggu Pagi

Dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara yang juga menurut WHO antara lain ialah peningkatan risiko infeksi saluran pernafasan, penyakit jantung, stroke hingga kanker paru-paru.

Melihat kesinambungan data ini, maka persoalan dari polusi udara adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh, karena dapat berdampak langsung terhadap kondisi kesehatan masyarakat yang menghirupnya, terlebih apabila terhirup dalam jangka waktu yang lama.

Penyebab dan Solusi Pemerintah

Pekatnya polusi udara yang sampai dapat mengubah pemandangan langit di Jakarta dari biru menjadi putih kelabu selayaknya kabut, bukanlah tanpa alasan. Sejumlah faktor diduga mendasari adanya kondisi udara beracun yang menyelimuti kota dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa ini. 

Baca juga : Beri Hukuman Tegas untuk Pelaku Pencemaran Udara

Tingginya aktivitas industri di Jabodetabek, terutama penggunaan batu bara di sektor industri manufaktur serta pembuangan emisi dari transportasi menjadi dua faktor utama tingginya angka polusi di Jakarta dan sekitarnya. Kondisi kian dipersulit dengan hadirnya kemarau panjang yang mengakibatkan rendahnya curah hujan serta kecepatan angin.

Parahnya kondisi udara di wilayah Jabodetabek yang berlarut ini, bahkan diduga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan Presiden Joko Widodo mengalami gangguan masalah kesehatan yaitu batuk-batuk selama empat minggu lamanya. Menyusul semakin berlarutnya kondisi ini, Joko Widodo pun memerintahkan adanya solusi konkret untuk mengatasi masalah polusi udara. Presiden pun membagi skema penanggulangan polusi udara dalam tiga tahap, yaitu Jangka Pendek, Jangka Menengah dan Jangka Panjang.

Skema Jangka Pendek, berfokus kepada intervensi cepat pemerintah untuk meningkatkan kualitas udara di sekitar Jabodetabek, melakukan rekayasa cuaca untuk memancing hujan sampai mendorong diterapkannya kembali Work From Home (WFH). Kemudian skema Jangka Menengah akan berfokus kepada penerapan kebijakan untuk menggurangi penggunaan kendaraan berbahan bakar fossil, peralihan ke transportasi massal serta penggenjotan eletrifikasi kendaraan umum. 

Baca juga : Hentikan Tilang Uji Emisi, Polisi Dianggap Menentang UU

Terakhir, skema jangka panjang akan berkonsentrasi kepada penguatan mitigasi dan adaptasi dari dampak terburuk perubahan iklim serta pengawasan di sektor industri dan pembangkit listrik di sekitar Jabodetabek. Presiden juga mengharapkan adanya edukasi secara masif terkait polusi udara kepada masyarakat.

Pemprov DKI Jakarta, di sisi lain berusaha merespon keluhan masyarakat salah satunya adalah melakukan penggantian bus-bus yang menghasilkan polusi tinggi dengan bus yang lebih ramah lingkungan, menambahkan ruang terbuka hijau. Pemprov DKI bahkan memberlakukan skema WFH untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI.

Baca juga : Lansia dan Balita Diminta tetap di Rumah saat Polusi Udara Tinggi

Foto udara suasana kota Jakarta dari kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (11/8/2023). Berdasarkan pantauan situs IQAir Jumat, 11 Agustus 2023 per pukul 06.00 WIB, kualitas udara Jakarta nomor dua terburuk di dunia. Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta tercatat 176 poin atau masuk kategori tidak sehat dengan konsentrasi polutan utama PM2.5 sebesar 103 mikrogram per meter kubik. Dok: MI/RAMDANI

Masalah pencemaran udara bukanlah masalah kemarin sore, desakan masyarakat kepada pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta sebenarnya sudah ada sejak 2019. Tim Advokasi Jakarta pada tahun 2019 pernah mengajukan gugatan perdata yang ditujukkan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten serta Gubernur Jawa Barat. 

Gugatan dilayangkan karena dianggap telah gagal melindungi hak rakyat atas udara bersih.
Gugatan tersebut kemudian dimenangkan pada tahun 2021 saat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan penangangan polusi udara. 

Baca juga : Penanganan Kualitas Udara Jakarta Membutuhkan Peran Seluruh Masyarakat

Gugatan atas polusi udara ini justru direspon pemerintah dengan mengajukan banding pada 2021, namun banding pemerintah yang diajukan pada 2021 tersebut, kembali dimenangkan oleh warga pada Oktober 2022. Alih-alih menjalankan putusan pengadilan untuk menangani masalah polusi udara, pada awal tahun 2023 ini, pemerintah justru kembali melakukan kasasi  terkait gugatan polusi tersebut.

Respon pemerintah yang terus melakukan upaya perlawanan hukum dengan mengajuka banding dan kasasi ini, banyak dinilai para aktivis lingkungan sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam upayanya memperbaiki kualitas udara di Indonesia, sehingga polemik ini masih terus berlanjut. Hingga saat ini, persoalan terkait polusi udara di Jakarta dan sekitarnya masih belum usai, bahkan menjadi sebuah persoalan berlarut yang seakan tiada habisnya.

Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta pun turus menuntut Pemprov DKI Jakarta untuk segera mengatasi kualitas udara di Jakarta yang dinilai buruk. Masyarakat di sosial media pun, beramai-ramai mengomentari kondisi udara Jakarta yang kian mengkhawatirkan dan membawa risiko besar terhadap kesehatan manusia.

Baca juga : Satgas PPU Sebut 166 Watermist Telah Terpasang

Desakan serta keluhan yang diutarakan oleh mayoritas warga Jabodetabek ini adalah pertanda bagaimana kualitas udara di Jakarta sudah berada di level yang dinilai ‘sangat kritis’ sehingga membuat masyarakat gerah dan prihatin dengan pekatnya polusi udara yang menghiasi langit-langit ibu kota, banyak di antara mereka yang harus berjibaku dan terpaksa menghirup udara beracun membahayakan ini dalam aktivitasnya sehari-hari.

Polusi udara di Jabodetabek memerlukan jawaban yang datang tidak hanya dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Mengingat bahaya dan faktor risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan serta desakan dan keluhan masyarakat yang kian ramai.

Selain menerapkan skema WFH, perlu adanya pengurangan terhadap pembakaran pembangkit listrik tenaga uap maupun industri manufaktur lain yang masih menggunakan batu bara sebagai sumber energinya, di mana sektor tersebut merupakan salah satu sumber utama penyebab pekatnya polusi udara.

Baca juga : 161 Water Mist sudah Terpasang di DKI Jakarta

Mengejar implementasi lebih cepat dari pemanfaatan energi baru terbarukan dan beralih dari penggunaan batu bara yang berlebihan, serta berusaha mengurangi emisi yang berasal dari transportasi adalah sebuah keharusan. Pengaturan regulasi, pengawasan ketat dan pemberlakuan sanksi tegas bagi industri-industri maupun transportasi yang masih ‘membandel’ dan berkontribusi terhadap pencemaran udara di seluruh wilayah di Indonesia perlu digalakkan. 

Terakhir, untuk dapat menyakinkan masyarakat beralih menggunakan transportasi massal daripada kendaraan pribadi, maka perlu adanya perbaikan dan penyempurnaan berbagai layanan moda transportasi-transportasi massal di seluruh penjuru kota. Penyempurnaan layanan ini adalah upaya untuk menjamin kebutuhan, keamanan dan kenyamanan masyarakat sebagai penggunanya.

Fokus terhadap penanggulangan oleh faktor-faktor penyebab polusi udara menjadi krusial manakala faktor-faktor ini apabila ditanggulangi dengan baik, dapat berdampak secara langsung terhadap perbaikan kualitas udara. Bagaimanapun, perlu diingat bahwa hak atas udara bersih adalah bagian dari lingkungan hidup yang baik dan sehat dan pemerintah memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk menjamin ketersediaannya, sebagaimana sudah diamanahkan dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang tertulis pada paragraf pembuka. (Z-10)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat