visitaaponce.com

Keluarga Warga AS Keturunan Palestina yang Ditahan Israel Mengecam

Keluarga Warga AS Keturunan Palestina yang Ditahan Israel Mengecam
Kerumunan orang, tenda dan tempat berlindung di perguruan tinggi Khan Younis di Khan Yunis, Jalur Gaza selatan pada 3 Desember 2023.(AFP/citra Satelit ©2023 Maxar Technologies)

"TANDA terima telah dikonfirmasi." Itulah satu-satunya pesan yang diterima Yasmeen Elagha dari pemerintah Amerika Serikat (AS) setelah dua sepupunya, yakni keduanya warga Amerika keturunan Palestina ditahan oleh pasukan Israel saat mereka berlindung di dekat Khan Younis di Gaza selatan.

Sekarang dia meminta pemerintahan Presiden AS Joe Biden bertindak lebih lanjut guna menjamin keselamatan mereka dan menjamin pembebasan mereka. Elagha mengatakan dua sepupunya, Borak Alagha yang berusia 18 tahun dan Hashem Alagha yang berusia 20 tahun, ditahan tanpa dakwaan.

"Kami telah memohon kepada pemerintah AS," jelas Elagha, seorang mahasiswa hukum di Universitas Northwestern di Chicago. "Pemerintahan sepenuhnya gagal dalam tugasnya," sebutnya.

Baca juga : Hamas Ingatkan Serbuan Israel di Rafah Berakibat Puluhan Ribu Tewas

Keluarganya ialah salah satu dari beberapa keluarga yang mendorong perlindungan warga Amerika Palestina yang ditahan Israel, ketika perang di Gaza terus berlanjut. Mereka berkumpul di Washington, DC, untuk konferensi pers pada Senin untuk mendesak tindakan.

Dari podium, Elagha menjelaskan bahwa dia mengetahui penculikan sepupunya melalui panggilan telepon pada 7 Februari dengan bibinya di Gaza. Sambil menangis, bibinya menceritakan saat tentara Israel masuk ke tempat perlindungan mereka di al-Mowasi, dekat Khan Younis, dan mengikat wanita dan anak-anak.

Para pria menemui nasib berbeda. Bibi Elagha menggambarkan kedua sepupunya bersama ayah mereka, paman mereka, dan dua saudara laki-laki lain dibawa pergi. Para tentara meninggalkan tempat penampungan dalam keadaan hancur dan ban mobil keluarga tersebut tersayat. Tak satu pun dari mereka yang terdengar kabarnya sejak itu.

Baca juga : Erdogan Serukan Tekanan kepada AS untuk Hentikan Serangan Israel

Sejak itu, Elagha telah mengirimkan banyak email ke kedutaan besar AS di Jerusalem, Tel Aviv, dan Kairo, serta satuan tugas AS di Gaza. Dia hanya menerima satu balasan yang mengonfirmasi bahwa bandingnya telah diterima.

Menunggu informasi, katanya, sangat menyiksa. "Menitnya terasa seperti berjam-jam. Jadi rasanya sudah sebulan berlalu," sebutnya.

Tuduhan yang dibuat-buat

Suliman Hamed, warga Louisiana, berbagi pengalaman serupa pada acara yang diselenggarakan oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR). Dia mengatakan ibunya yang keturunan Palestina-Amerika, Samaher Esmail, 46, ditahan Israel di Tepi Barat yang diduduki Senin lalu dan dia belum bisa berbicara dengannya sejak itu.

Baca juga : Tolak Biden, PBB Sebut Jumlah Korban Jiwa Gaza Kredibel

Dia menjelaskan hanya menerima satu telepon dari pejabat kedutaan setelah penahanannya. Hari-hari telah berlalu, tetapi staf konsuler masih belum mengunjunginya di tempat dia ditahan yakni penjara Damon Haifa.

"Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, dan sekarang Senin lagi. Tak seorang pun dari kedutaan AS pernah mengunjungi atau berbicara dengan ibu saya, warga negara AS," jelas Hamed.

Saat dia menunggu di penjara, Hamed mengkhawatirkan kesehatan ibunya. Pengacaranya mengatakan kepadanya bahwa dia belum menerima pengobatan sejak dia ditangkap.

Baca juga : Biden Dukung Pernyataan Israel tentang Pengeboman Rumah Sakit Gaza

"Sudah tujuh hari dan dia masih belum menerima satu pun obat. Hal ini mengakibatkan kondisinya semakin memburuk," kata Hamad. "Kami telah berulang kali meminta kedutaan AS untuk mengirim petugas konsuler ke ibu saya, sehingga kami bisa mendapatkan informasi terkini mengenai kondisinya," ujarnya.

Ibunya ditangkap atas tuduhan dan hasutan di media sosial. Hamed dan saudara laki-lakinya, Ibrahim, khawatir dia menjadi sasaran sebagai pembalasan atas tuntutan hukum yang dia ajukan terhadap militer Israel, setelah diduga dipukuli saat penghentian lalu lintas pada 2022.

Kelompok hak asasi manusia telah lama menuduh pemerintah Israel menggunakan tuduhan hasutan yang dibuat-buat untuk menindak warga Palestina dan menekan kebebasan berpendapat. Namun penangkapan secara keseluruhan di Tepi Barat yang diduduki telah meningkat sejak dimulainya perang pada 7 Oktober. Klub Tahanan Palestina, organisasi advokasi, telah mendokumentasikan 6.870 penahanan pada minggu lalu.

Baca juga : Blinken : Israel Siap Buka Koridor Kemanusiaan di Gaza, Palestina

"Israel mencoba menggunakan ibu saya sebagai contoh," kata Hamed. "Mereka mencoba menakut-nakuti warga Palestina dan warga Amerika keturunan Palestina. Jika hal ini bisa terjadi kepada wanita Palestina-Amerika, hal ini juga bisa terjadi pada Anda," terangnya.

Laporan pemukulan, perlakuan yang memalukan

Sejak dimulainya perang di Gaza pada 7 Oktober, tuduhan penghilangan paksa, penganiayaan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh pasukan Israel juga merajalela. Pada Januari, Ajith Sunghay, kepala kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, menerbitkan laporan tentang para tahanan yang dipukul, dihina, menjadi sasaran perlakuan buruk, dan yang mungkin termasuk penyiksaan.

Banyak yang ditahan antara 35 dan 55 hari, tulis Sunghay. Laporannya, dan laporan lain, telah memicu ketakutan di kalangan keluarga mereka yang ditahan. "Dengan semua yang kami pelajari terjadi pada pria Palestina ketika mereka ditahan oleh Israel, terutama sejak 7 Oktober, kami hanya membayangkan penyiksaan yang mereka hadapi," kata Elagha tentang sepupunya.

Baca juga : Raja Yordania Desak Gencatan Senjata Gaza yang Berlangsung dalam Pembicaraan dengan Biden

Hamed mengenang pengacara ibunya menggambarkan memar di lengan dan punggung ibunya. Dia dan saudara laki-lakinya yakin dia dipukuli oleh pasukan Israel. Pengacara mengatakan kepada mereka bahwa Esmail bahkan kehilangan kesadaran dua kali selama wawancara di penjara.

Tidak ikuti protokol

Ketika ditanya tentang warga AS yang ditahan di luar negeri, Departemen Luar Negeri mengatakan pihaknya berupaya memastikan perlakuan yang adil dan manusiawi terhadap mereka. "Seperti yang Anda ketahui, kami tidak mempunyai prioritas lebih tinggi daripada keselamatan dan keamanan warga negara Amerika di luar negeri," kata juru bicara Vedant Patel kepada wartawan pada 8 Februari.

Namun Maria Kari, seorang pengacara imigrasi, mengatakan kepada Al-Jazeera bahwa sikap Departemen Luar Negeri AS tidak cukup. Dia bekerja dengan keluarga Borak dan Hashem Alagha untuk mengajukan gugatan terhadap pemerintah.

Baca juga : Biden Minta Netanyahu Siapkan Rencana Memastikan Keselamatan Penduduk Gaza

Dia mengatakan kepada Al-Jazeera bahwa pemerintahan Biden tampaknya tidak mengikuti protokol yang tepat dalam situasi seorang warga negara AS disandera atau dihilangkan secara paksa, baik oleh aktor nonnegara atau negara. "Di sini, kita melihat tentara Israel salah menahan (saudara kandung Alagha) dengan penghilangan paksa. Semua sangat ilegal dan bertentangan langsung dengan hukum dalam negeri AS dan hukum internasional," sebutnya.

Situasi itu seharusnya membutuhkan akses konsuler segera. "Presiden seharusnya terlibat. Departemen Luar Negeri seharusnya mengoordinasikan semua tim ini," katanya.

"Dan hal seperti ini belum pernah terjadi di sini," tambahnya. "Hal ini sangat mengerikan." Departemen Luar Negeri tidak menanggapi permintaan komentar dari Al-Jazeera mengenai kasus tersebut.

Baca juga : Janji Manis Benjamin Netanyahu Jelang Invasi Darat Israel di Rafah

Suliman dan Ibrahim Hamed mengatakan kurangnya tanggapan yang mereka terima membuat mereka merasa diabaikan. Pada konferensi pers, Senin, mereka meminta AS untuk mempertimbangkan kembali dukungannya yang teguh terhadap Israel, karena tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Gaza dan Tepi Barat terus meningkat.

Kakak beradik ini berasal dari Gretna, Louisiana, kota yang dilanda kekerasan. Kampung halaman mereka sama dengan Tawfiq Ajaq, seorang warga Amerika keturunan Palestina berusia 17 tahun, yang terbunuh dalam penembakan pada Januari yang melibatkan seorang pemukim Israel dan seorang petugas polisi yang sedang tidak bertugas di Tepi Barat yang diduduki. Hamed bersaudara mempertanyakan dukungan AS terhadap Israel berarti mengabaikan keadilan komunitas mereka atau tidak.

"Kami, sebagai warga Amerika yang membayar pajak, mendanai pemenjaraan ini tidak hanya terhadap ibu saya tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah, terutama warga Palestina," kata Ibrahim. "Jika kami warga kulit putih Kristen atau warga Amerika keturunan Israel, apakah kedutaan akan merespons lebih cepat?" Suliman menambahkan.

Baca juga : Dulu Dukung Habis-habisan, Sekarang Biden Sebut Balasan Israel pada Gaza Keterlaluan

"Ini pertanyaan yang saya tanyakan kepada diri saya setiap hari," pungkasnya. (Al-Jazeera/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat